23. Oke?

12K 1.2K 33
                                    

"Gent, masih sakit?" Nia menemuinya di kamar anak itu memastikan keadaan terbaru Genta.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 6, sementara Genta masih tergeletak di kasurnya. Anak cowok itu mengerjapkan matanya sambil mengerang pelan.

Nia memegang kening Genta yang ternyata lebih panas dari kemarin malam. Sudah dari kemarin Genta merasakan tak enak badan. Nia mengira setelah diberi obat akan langsung bisa sembuh pagi ini. Mengingat anak itu sangat rajin belajar dan sekolah, melihatnya tak sanggup bangun membuat Nia khawatir tadi malam mengira Genta pasti akan memaksakan berangkat sekolah. Melihat Genta yang sakitnya bisa mengalahkan ambisi dan semangatnya sudah pasti anak itu tak kuat untuk pergi.

"Kamu masih belajar mulu ya kurang tidur, tesnya udah selesai, Gent."

"Ma, jangan ngomel dong anaknya lagi sakit," lirih Genta.

"Eh, iya maaf deh. Gent, mau izin sakit? Mama bikinin suratnya biar dititipin sama Dista ya. Nggak apa-apa kalo nggak kuat masuk sekolah." Nia masih memandanginya cemas. Perasaannya juga menjadi kacau bagaimana kalau anak ini ternyata bisa sakit lebih parah lagi, Nia akan bertanggung jawab padanya.

"Iya, Ma. Aku udah chat teman-teman dekatku semalam di grup, mereka pasti tahu kalo aku nggak masuk sakit. Pake izin surat tertulis."

"Ya udah, Mama mau nulis suratnya dulu. Nanti siang kamu ke dokter sama Bu Karmi ya. Mama ingetin kalo kalian lupa. Eh, belum rapi, Dis?"

Saat Nia mau beranjak pergi Dista muncul di pintu sudah menggunakan seragam sekolah hari Jumat berupa rok dan baju lengan panjang serta bawa-bawa sisir rambut warna pink ngejreng. Rambutnya yang masih setengah basah tipis sekali. Dia menghampiri Genta.

"Mau ngeliat Genta dulu. Minggu depan kamu udah harus sembuh!!" sembur Dista mengalihkan pandangannya pada Genta di atas kasur.

Mata Genta melebar dan menghadapkan wajahnya ke saudara kembarnya itu. "Aku nggak akan sakit selama itu," jawabnya lemah.

"Kamu harus dateng lihat aku tampil. Tahu nggak aku memaksimalkan suaraku latihan vokal buat dilihat keren sama kalian. Nggak akan bikin malu."

"Iya-iya, kamu ngomel bikin aku makin pusing dan sakit kepala deh."

"Aku juga udah kasih kisi-kisi dance grupku bakalan pecah, jadi kamu harus lihat."

"Hmm ...."

"Ya udah, pokoknya hari ini istirahat, jangan belajar terus. Tes seleksinya udah berlalu, kamu harusnya lebih rileks dulu sebelum sibuk-sibuknya setelah pengumuman udah lolos nanti."

"Iya, aku tahu."

"Gent, mau nitip sesuatu ke guru lewat Dista? Kalo ada tugas rumah hari ini kumpulin aja," usul Nia yang masih memperhatikan dua anak itu.

"Ada tugas hari ini yang mau dititipin ke temanmu?" tawar Dista.

Nia masih berdiri mengamati mereka, mau menyela namun mereka sangat serius bicaranya. Nia mau mengatakan ke Dista tentang surat izin.

"Ada. Udah aku tumpuk di meja tadi pagi siap-siap beneran nggak akan kuat masuk. Tuh ada buku tulis Matematika, Fisika, dan LKS Kwn. Titip ke si Kamal, teman sebangkuku."

"Ya udah, aku bawa nih ya." Dista pergi ke meja belajar dan mengambil buku-buku titipan Genta.

Nia berjalan keluar dari kamar mereka mengingat masih ada tugas untuk menulis surat izin.

"Dis, aku titip surat izin sakit. Harus pake surat bertandatangan dari orang tua, 'kan?" Suara Genta masih terdengar jelaa oleh Nia.

"Iya, tapi Papa udah jalan," sahut Dista lalu dia terdiam sebentar. "Ah, aku lupa. Sekarang kita udah punya Mama."

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang