“Okelah, jangan ngerasa nanya hal itu sungkan-sungkan. Itu bukan hal tabu atau aib lagi. Aku sama dia cerai karena hubungan ini jadi dingin. Aku sama dia udah kayak orang asing. Aku yang berusaha menghangatkan lagi tapi selalu tertolak. Mengajak dia berhubungan tapi dia menolak. Aku nggak mau maksa. Ternyata dia berselingkuh sama pria lain. Kami cerai karena dia yang mau pisah. Aku nggak apa-apa terima keputusan dia daripada kami terlalu lama terbelenggu padahal udah kacau. Kita bisa cerai lancar karena sama-sama setuju.”
“Abang sama dia dulu menikah karena cinta?”
“Jelas kami saling cinta. Tapi di tengah jalan dia kalah, lebih cinta sama orang lain.”
“Aku sama Garsa juga saling cinta atau hanya aku yang mencintainya. Entahlah. Dia masih mencintai istrinya bahkan nggak bisa menyentuhku. Dia merasa bersalah mengkhianati istrinya. Aku nggak menyangka ada orang yang mudah memainkan perasaan dengan begitu dalam ikatan yang rumit.”
“Untuk apa bertahan bersama dengan orang yang asing dan tak sejalan lagi. Tak ada perasaan. Bukannya aku mempengaruhi kamu, ini pengalaman aku. Itu buang waktu lama-lama dalam ikatan tanpa rasa. Jangan malu, Nia, kalau bercerai dengan alasan kamu nggak menerima afeksi cinta dari pasanganmu. Afeksi berantakan semuanya kacau. Kamu menikah karena afeksi ya kan, bukan karena kamu hanya ingin harta atau status saja?”
“Harta itu bisa usaha sendiri. Iya aku menikah karena membutuhkan afeksi. Berbagi suka dan duka. Bukan menjadi terbebani dan sakit. Kecewa. Bingung. Kesepian. Sedih.” Nia meresapi itu dalam-dalam.
Loh Nia, bukannya kamu menikah karena hanya untuk segera menepati janji? Kebetulan lelaki yang mendekat adalah seorang pria berduit dan ganteng.
Suara-suara itu datang perlahan menghakiminya.
“Masalah kamu lumayan mirip denganku. Ini bukan hanya urusan ranjang semata. Tapi juga kehangatan kehidupan sehari-hari. Rasanya aneh kan kalau memiliki status dengan orang asing? Aku paham sama kamu yang harus berhadapan sama orang yang tak mencintai kita sudah berada dalam ikatan agama dan hukum.”
“Apa akan dipermudah prosesnya?”
“Kalau dia dingin dan udah mengabaikanmu, aku yakin dia sebenarnya juga sedang menunggu perpisahan. Mungkin dia lagi menunggu kamu yang menyerah duluan. Aku tahu sikap lelaki yang nggak bertanggung jawab begitu, main nikahin saja tapi lalu istrinya disia-siakan sampai akhirnya pihak wanita yang menggugat duluan udah tak kuat. Laki-laki itu menunggu saja tanpa mau bergerak duluan.”
Kalau Santi menanyakan apa Nia yakin siap akan menceraikannya, dia sudah kepikiran hal itu. Nia tak biasa lagi pada Garsa setelah menemukan kondom di laci meja kerjanya tadi pagi. Untuk apa lelaki itu memiliki kondom kalau bukan untuk digunakan seks tanpa risiko hamil. Nia tak bisa membayangkan dengan siapa dia sering bermain di luar sana. Jika benar, itu sudah terlalu menyakitkan. Tadi pagi juga Garsa lebih memilih pergi yang katanya ada janji ingin memancing bersama teman-temannya, daripada menemani anak-anaknya yang minggu lalu ingin jalan-jalan bersamanya.
“Siapin aja saksi dan bukti, terlebih kalo pasangan nggak mau memperjuangin lagi. Pasti bakal diterima gugatannya.”
💍💍💍
Selama di perjalanan pulang sembari menyetir, Nia menangis kejar meluapkan air mata kesedihan dan kekesalan yang tak pernah bisa keluar sejak awal masalah ini. Mama dan adik-adiknya selalu bilang dia terkuat dan jarang menangis. Jika menangis, sudah tak bisa digambarkan lagi bagaimana sesakitnya kekecewaan itu.
Nia tak akan bisa menjadi wanita yang dicintainya. Menjijikan, dia tak sanggup membayangkan selama ini kesibukan suaminya dipakai untuk berselingkuh entah dengan siapa. Atau bisa jadi pria itu bermain dengan perempuan bayaran mengingat jika dia tak mau mengkhianati Amanda, sang perempuan tercintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Compromise
General FictionRated 18+ Nia harus menepati janji pada keluarganya, kan kasihan adik laki-lakinya tidak bisa menikah jika dia masih berutang janji. Janji untuk segera menyusul Elyn, adiknya, yang sudah menikah beberapa tahun lalu meloncatinya. Nia putus sama Dipta...