46. Keinginan Untuk Bahagia

1.1K 163 10
                                    

Proses pemakaman ayah Ali sudah selesai sejak beberapa jam yang lalu, teman sekelas banyak yang bertamu ke rumah Ali. Bertujuan untuk menghibur Ali, ketua kelas yang selalu menjadi panutan beberapa tahun belakangan ini.

Prilly memperhatikan gerak-gerik Ali dengan seksama, sudah sekitar 30 menit berlalu tetapi posisi duduk Ali tidak berubah sedikit pun. Tatapan matanya kosong dan sendu, menunjukkan kehilangan yang mendalam.

Menekan egonya, Prilly berjalan ke arah Ali. Sebenarnya, ia masih merasa benci dan kesal bila mengingat kesalahan Ali dulu. Tetapi, ia tidak suka apabila Ali terus diam dan tidak ada gairah kehidupan. Ali yang ia kenal, tidak seperti itu.

"Em, gue rasa lo butuh udara segar," ujar Prilly dingin tanpa melirik ke arah Ali. Ali berdeham sejenak, "Lo ngomong sama gue, Pril?"

"Enggak, gue lagi ngomong sama Dino," balas Prilly ketus. Ali mengangguk singkat, ia kembali melirik ke arah lain.

Prilly jengkel setengah mati, "Lo tuh beneran tolol, apa dibuat-buat sih?!"

Ali menatap Prilly dengan kening berkerut, "Gue ada salah lagi ya, sama lo?"

Prilly benar-benar jengah melihat wajah innocent Ali, "Mendingan sekarang lo ikut gue, keluar cari udara segar. Gue gak menerima penolakan!"

Ali menggeleng kecil, "Lagi gak punya gairah buat hal itu, Pril. Sorry."

Kesabaran Prilly benar-benar diuji sekarang, "Lo kira dengan lo terus-terusan sedih disini, perasaan lo akan membaik?"

"Tinggal ngikutin gue, apa susahnya sih." Lanjut Prilly dengan nada sinis. Melihat tidak ada pergerakan dari Ali, Prilly terpaksa menggunakan cara ekstra. Ia menarik pergelangan tangan Ali sehingga cowok itu berdiri dengan terpaksa, mungkin.

"Kalo lo mau dapetin maaf dari gue, tinggal ngikut dan jangan banyak bacod," ancam Prilly sekaligus simbol lampu hijau bagi Ali.

Mereka berdua keluar melalui pintu belakang, berjalan ke sisi kanan menuju jalan raya. Prilly menetralkan degup jantungnya, efek berdekatan dengan Ali ternyata masih sama!

"Gue tau ini berat buat lo, berat banget." Ujar Prilly memulai percakapan. Ia tidak berani melirik ke arah Ali, melainkan tetap fokus pada jalanan di depannya.

"Gue emang benci sama lo, benci banget, Li. Tapi ngelihat lo sengsara kayak gini, buat gue sadar bahwa bukan ini yang gue mau. Bukan kehancuran lo yang gue inginkan," lanjut Prilly.

"Gue cuma gak bisa terima kenyataan kalo ternyata selama ini gue yang bodoh, gue sedang membodohi diri sendiri. Nyiptain ilusi kalo lo suka sama gue, padahal semuanya fana. Lo tau gue juga bukan orang yang bermurah hati, gue gak akan bisa maafin orang-orang yang udah nyakitin gue." Dalam satu tarikan napas, Prilly membocorkan semua perasaan tidak nyamannya.

"Sekarang, gue cuma mau berdamai dengan semuanya. Dengan rasa sakit yang gue terima, gue pengen bisa bahagia, Li."

Ali mengangguk mengerti, "Gue minta maaf ya, Pril. Sekarang hidup gue juga udah di ujung kayak gini, gue bahkan gak tau langkah apa selanjutnya yang harus gue ambil. Sebelum mengakhiri semuanya, gue juga mau lo bisa hidup bahagia."

"I can't promise you something, but you don't have to face it alone, Li. Lo punya banyak orang yang bisa lo jadikan sandaran," lanjut Prilly dengan nada pilu.

Ia tahu ucapannya tidak bisa mengobati luka di hati Ali, ia juga tidak begitu yakin dengan perasaannya, hanya saja ia tidak suka jika Ali terlihat begitu menderita.

"Bokap lo pasti udah tenang disana, dia pasti sedih kalo ngelihat lo kehilangan harapan hidup disini. Kesembuhan lo butuh proses, gue paham banget tentang itu, tapi tolong jangan bertingkah kayak gini. Jangan nyembunyiin kesedihan lo, lo butuh nangis buat ngeluarin semua rasa sakit lo. Tolong jangan kayak gini, lo kayak bukan Ali yang gue kenal," ujar Prilly sambil menarik kaos yang dipakai Ali.

Ali mengalihkan pandangannya ke arah Prilly, "Pril? Gue gak lagi mimpi 'kan?"

Prilly mengulum bibir bawahnya sambil mengangguk kaku, "Lo harus bertahan ya, demi nyokap dan kakak lo."

"Ayah yang paling gue sayang, satu-satunya tempat gue mencurahkan segala keresahan gue, Pril. Sekarang dia udah gak bisa dengarin gue lagi, dia udah gak bisa nyautin gue lagi. Ayah hiks," Ali menjatuhkan dirinya di pelukan Prilly. Ia terisak begitu kencang menandakan ia sangat terpukul dan kesedihannya begitu nyata.

Prilly berdiri kaku di tempatnya, sebelum akhirnya ia membalas pelukan Ali dan mengusap punggungnya. Menyalurkan kehangatan yang ingin ia sampaikan sejak kemarin.

* * *

Bimo berdiri di dekat pintu belakang rumah Ali, ia melihat dengan jelas pelukan antara Ali dan Prilly. Sejujurnya, ia cemburu karena sudah banyak usaha yang ia kerahkan tetapi hati Prilly masih belum sepenuhnya miliknya.

Namun, Bimo yakin bahwa Prilly tidak akan mengkhianatinya. Ali sudah sejauh itu menyakiti Prilly, sudah tidak ada alasan lebih lagi untuk gadis itu tetap mencintai Ali. Bimo percaya bahwa jika ia bertahan dan berusaha sedikit lagi, gadis itu akan benar-benar luluh dan melupakan Ali.

Sampai akhirnya, seseorang menepuk pundak Bimo. Ia berbalik dan lumayan syok melihat kehadiran Ghina. Dahinya berkerut bingung, "Lo nyariin Ali, Ghin?"

Ghina menggeleng pelan, "Kehadiran gue udah gak berarti lagi di samping dia, Bim."

"Jadi bener dugaan gue, kalian putus?" Tanya Bimo tanpa basa-basi.

Ghina mengangguk, "Iya, seperti yang lo lihat. Gue sadar bahwa menahan Ali agar tetap di sisi gue, tapi dianya udah gak punya perasaan. Sama kayak menggenggam bayangan, kayak ada tapi kosong."

"Sejak kapan?" Tanya Bimo masih tidak percaya. Dia tau seberapa antinya Ali dengan kata 'putus'.

"Dua hari yang lalu, saat kalian camping. Gak usah terkejut, Bim, gue mendam ini udah cukup lama. Kebayang betapa kayak orang bodoh 'kan gue? Setiap malem yakinin diri sendiri, kalo Ando gue masih sama. Terus-terusan pertahanin hubungan kita, tapi hatinya udah enggak sama gue. Gue gak bahagia sama sekali, Bim. Gue yang minta putus, karena gue tau Ali gak mungkin mutusin gue," balas Ghina panjang lebar.

"Gue mau Ali kejar kebahagiaannya, meski enggak di gue," lanjut Ghina dengan tatapan kecut. Ali dan Prilly masih hangat berpelukan di pinggir jalan yang tak jauh dari pintu belakang rumahnya.

"Tapi gue gak akan biarin hal itu terjadi, Ghin," Bimo membasahi kerongkongannya sejenak, "karena gue gak akan ngebiarin orang lain untuk ngebahagiain cewek gue."

Ghina menatap Bimo dengan tatapan yang sulit diartikan, "Lo sama Prilly? Rumor itu tentang kalian pacaran itu, bener?"

Bimo mengangguk tegas, "Meskipun hati Prilly belum sepenuhnya buat gue. Tapi, bisa gue pastiin enggak akan ngecewain dia kayak apa yang dulu Ali lakuin."

Ghina menghela napasnya, "Dengan siapapun Prilly nantinya, gue harap dia bisa mendapatkan kebahagiaannya. Dia udah cukup menderita selama ini. Gue titip sahabat gue ya, Bim. Tolong dijaga dan jangan pernah sakitin dia."

Bimo mengacungkan jempolnya, "Sejak gue mengenal Prilly, tugas gue cuma ngebahagiain dia. Lo juga jangan berlarut dalam kesedihan ya, mungkin udah saatnya lo buka lembaran baru, tuh Fadil udah nungguin."

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang