2. Kekacauan Yang Tercipta

6.5K 719 99
                                    

Prilly hanya bisa berdecak sedih saat melihat rumahnya, yang bahkan tidak layak untuk disebut sebagai rumah. Karena setahu Prilly, rumah itu penuh dengan suara. Bukan sunyi dan senyap, sendirian. Prilly mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menghalau agar air matanya tidak menetes.

Ia menghembuskan napasnya perlahan-lahan, menggigit bibirnya kuat-kuat agar isakannya tidak lolos begitu saja. Secara lincah, Prilly berjalan menuju pintu utama. Sembari mengunci pintu, ingatannya terlempar sesaat ke masa lalu.

Tetapi Prilly tidak ingin larut dalam kesedihan dan meratapi kenangan. Ia menggeleng seraya tersenyum pedih. Hanya di sekolah yang membuatnya merasa hidup kembali, tempat di mana ia memiliki sosok lain selain dirinya sendiri, melupakan sejenak beban yang selama ini ia pikul. Tidak banyak yang tahu tentang kehidupannya, lebih tepatnya tidak banyak yang peduli.

Sesampainya di sekolah, Prilly mengeluarkan senyum terbaiknya. Senyum yang menandakan bahwa ia sedang baik-baik saja. Senyuman palsu yang selalu berhasil menipu siapa saja.

"Good morning, fwens!" Sapaan riang Prilly menggema di penjuru kelas.

"Pagi, Pril. Makin bening aja lo," celetuk Fadil sambil memetik senar gitarnya dengan nada tak beraturan.

"Wah, ternyata susuk dari tetangga belakang rumah gue manjur juga ya," gurau Prilly membuat orang-orang menyorakinya.

Ia berjalan menuju meja Ali yang kebetulan berada tepat di sebelah mejanya. Ali akan duduk bersebelahan meja dengan Prilly untuk satu minggu ke depan, setelah itu tempat duduk mereka akan dirotasi kembali.

"Morning sayang, lagi apa nih?" Sapa Prilly yang tidak mendapat respon Ali. Jangankan direspon, dilirik saja tidak. Tetapi, Prilly tidak akan menyerah secepat itu.

"Pasti kamu lupa gosok gigi," ujar Prilly sok tau. Ali menaikkan alisnya sebelah, menatap Prilly dengan bingung meski hanya sekilas.

Prilly menyengir terlebih dahulu sebelum melanjutkan ucapan ngawurnya, "Kan kalo lupa gosok gigi pas ngomong jigongnya bau, terus kamu pasti jadi malu-malu komodo sama aku. 'Kan?"

"Ya ampun Aliku tercinta bin tersayang bin terkasih bin termuach, kamu gak perlu malu kali sama aku. Aku terima kamu apa adanya kok. Mau gak gosok gigi seminggu, gak mandi sebulan, gak cebok sekalipun, aku tetap cinta kok sama kamu." Ali melempar tatapan mengintimidasi untuknya. Prilly terkekeh pelan sambil menantang Ali lewat tatapannya.

"Udah puas ngocehnya?" Tanya Ali dingin.

Tawa teman sekelasnya berderai melihat interaksi dari kedua insan yang tidak pernah akur itu.

"Sekarang juga, lo bisa pergi dari hadapan gue. Pergi sejauh yang lo bisa," ujar Ali mempertahankan nada bicaranya.

"Gak bisa, Ali. Aku bakal terus berada di sisi kamu, sekalipun semua orang milih buat ninggalin kamu."

"Jaga perasaan Fira," balas Ali datar.

Prilly melirik Ghina yang baru masuk ke dalam kelas, "Oh, cewek yang baru dateng itu yang kamu sebut-sebut tadi? Kamu bilang apa tadi? Aku harus jaga perasaan dia? Enggak salah nih? Dia kali yang mesti jaga perasaan sahabatnya."

Ghina yang merasa tersindir baik dari segi tatapan maupun ucapan, hanya bisa menghela nafasnya pasrah. Tidak ada yang benar-benar bisa ia lakukan selain menerima kenyataan bahwa ia telah di cap sebagai penikung sahabatnya sendiri.

"Cukup, Pril. Lo udah kelewatan."

"Oh, ya? Kok aku malah merasa kalo ucapan aku terlalu manis untuk seseorang yang katanya sahabat. Dan semoga aja setelah ini kamu bisa mempertimbangkan lagi pilihan kamu."

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang