Mata Prilly memberat, beberapa kali kepalanya terangguk lemas. Sungguh, Prilly tidak dapat menahan kantuknya lagi. Ali yang melihat hal itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pril?" Panggil Ali lembut.
Bukannya menjawab panggilan Ali, kepala Prilly malah terkulai lemas di meja. Hal itu membuat Ali tersenyum kecil, ia mengulurkan tangannya untuk menjadi tumpuan bagi kepala Prilly.
Ali melirik ke arah jam dinding di seberang sana, waktu menunjukkan pukul delapan malam. Padahal mereka baru saja belajar selama lebih kurang satu jam, namun perempuan di depannya telah terkapar lemas tidak dapat menahan kantuk.
Dari jarak sedekat ini, Ali dapat melihat dengan jelas wajah tentram Prilly saat tertidur. Ia meneliti setiap inci pahatan sempurna ciptaan Tuhan di hadapannya, mulai dari kelopak matanya yang tertutup serta bulu mata lentiknya, hidung semi bangir nan mancung, pipi chubby yang terlihat tirus dari samping, serta bibir tipis berwarna merah muda.
Kerutan di dahi Prilly menunjukkan ia sering berpikir keras, saat sedang tidur sekalipun. Ali mengusap pelan kerutan di dahi Prilly sambil berbisik, "Lo lagi mikirin apa sih, Pril?"
Prilly menggeliat sebentar membuat Ali memundurkan dirinya. Kemudian, ia terkekeh saat Prilly semakin menenggelamkan kepalanya di lengan Ali, bahkan tubuhnya setengah bersandar di dada Ali.
"Segitu lelahkah lo sampe-sampe ketiduran kayak gini pas belajar? Tapi kenapa pas ngejar gue, di kamus lo seakan gak ada kata lelah?" Tanya Ali bermonolog.
"Bahkan gue gak paham sama diri gue sendiri, Pril. Gue selalu menutup telinga dan mata gue buat lo selama ini. Gue adalah orang yang paling bejat di dunia ini karena telah menyia-nyiakan cewek setulus lo. Bukan obsesi lo yang berkedok cinta. Tapi kemunafikan gue yang selalu menampik kalo ada orang yang mencintai gue sebesar rasa lo."
Ali mendekatkan bibirnya ke telinga Prilly, "Terima kasih untuk segala cinta dan usahanya, Prilly Latuconsina."
Prilly mengerjapkan matanya sambil melirik ke arah tangan tempat ia bertumpu, lalu ia mengalihkan pandangan ke wajah Ali yang berjarak tidak jauh darinya. Ia mengucek matanya sebentar, sesaat kemudian ia memundurkan diri agar menjauh dari tubuh Ali.
"Gue? Ketiduran?" Tanya Prilly.
Ali mengangguk bebas, ia mengibas-ngibaskan lengannya yang terasa sedikit pegal.
"Sorry, gue gak maksud untuk ketiduran atau gak dengerin penjelasan lo. Gue juga enggak maksud—," ucapan Prilly tertahan ketika Ali mengusap rambutnya pelan.
"Gapapa, gue tau lo pasti capek. Dan lo yakin untuk jalan bareng Rassya lagi di jam sembilan nanti?" Tanya Ali memastikan.
Prilly mengangguk mantap, "Ada yang harus gue selesaikan."
"Lo udah ijin sama nyokap?" Tanya Ali yang dihadiahi gelengan dari Prilly.
"Lo lihat sendiri, dia gak ada di rumah." Balas Prilly sendu.
"Kalo gitu, biarin gue temenin lo," ujar Ali membuat Prilly menggeleng keras.
"Ada Rassya," balas Prilly.
"Tapi, gue bisa temenin lo," balas Ali tak mau kalah.
"Gue gak mau lo terseret-seret ke dalam kehidupan gue," cicit Prilly.
Ali menggeleng, "Gue yang menyerahkan diri gue untuk masuk ke dalam dunia lo. Asal lo tau, sehari setelah lo menyatakan cinta kepada gue, sejak hari itu juga gue sadar hidup bahwa kita akan terus hidup berdampingan ke depannya."
"Terserah," balas Prilly dengan ogah-ogahan.
"Ada masalah apa emangnya?" Tanya Ali penasaran.
"Lawan geng motor Rassya nyelakain Maxime, makanya dia gak masuk sekolah tadi." Ujar Prilly sekenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay (Away)
Fanfic⚠️Cerita Mengandung Bawang⚠️ "Lo maunya apa sih?!" Prilly mengeluarkan seringai menggodanya. Tangannya terulur menuju kerah seragam Ali, ia menarik kerah Ali hingga tubuh Ali terhempas mendekat ke arahnya. Lantas ia berbisik dengan suara seraknya, "...