7. Terluka, Selalu.

4.6K 551 61
                                    

"Kenapa cuma Ghina yang boleh berjuang, sedangkan gue gak boleh?" Tanya Prilly dengan nada lirih.

"Gue gak bilang kalo lo gak boleh berjuang, tapi satu hal yang harus lo tau, semakin lo perjuangin gue, maka lo bakal semakin tersakiti."

Prilly menggeleng dengan keras, "Itu bukan alasan yang logis, Li."

Ali menganggukkan kepalanya, "Bagi lo gak logis, karena lo mikir pake perasaan bukan logika."

Prilly kembali menggeleng, "Apa gue gak punya kesempatan? Meskipun sekali doang?"

"Lo berhak dapetin yang lebih baik, Pril. Orang yang bisa mencintai lo dengan sepenuh hati. Maaf, karena orang itu bukan gue," balas Ali.

"Lo gak perlu minta maaf, Li. Lo enggak ada salah apapun sama gue. Gue cuma mau memperjuangkan cinta gue, gue mohon jangan nyuruh gue buat berhenti." Mohon Prilly dengan mata yang berkaca-kaca.

Ali hanya diam, sejujurnya ia bingung harus merespon seperti apa.

"Gue cinta sama lo, dan akan tetap seperti itu."

Prilly memutuskan untuk menenangkan dirinya sejenak. Ia berjalan menuju mejanya yang hari ini berada di pojok kelas, berjarak lumayan jauh dari meja Ali.

"Si Ali nyakitin lo lagi?" Tanya Rassya. Rassya tidak pernah berhenti peduli kepada Prilly, meskipun Prilly sering kali melontarkan ucapan menusuk untuknya.

"Gue gak merasa tersakiti sama ucapan Ali," balas Prilly.

"Sya, misalnya nih Ali bilang ke gue, kalo dia bakal nerima gue, asal gue pintar dan sempurna di segala bidang kayak Ghina. Terus, gue harus gimana?" Lanjut Prilly dengan pertanyaan yang cukup sulit.

"Nyerah, Pril. Lo dan Ghina itu beda, kalian mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalo lo dan dia punya bakat yang sama, terus apa yang jadi pembeda antara kalian? Lo gak bisa perlu merubah diri lo buat jadi orang lain, hanya untuk mendapatkan cinta seseorang," ujar Rassya dengan nada lembut.

"Sya, gue pengen berhenti. Ajarin gue caranya," ujar Prilly dengan lirih.

"Lo harus menyerah karena kenyataan, bukan keterpaksaan. Keadaan juga udah sejauh dan serumit ini, lo masih mau mempertahankan apalagi, Pril?" Tanya Rassya.

"Kalau gue nyerah secepat ini, berarti gue kalah dong?" Balas Prilly.

"Hidup ini kadang kayak perlombaan, Pril. Siapa yang beruntung, dia yang akan bertahan. Siapa yang lebih berkuasa, dia yang akan menang. Dan orang-orang yang berjuang, belum tentu mendapatkan penghargaan."

"Kalo gitu, berarti gue kurang beruntung ya, Sya?" Ujar Prilly sambil tertawa paksa.

"Ini juga bukan pertama kalinya lo bilang mau berhenti, besoknya lo godain dia lagi," ujar Rassya jengkel.

"Gue gak bisa jauh-jauh dari dia, Sya, kenapa lo gak pernah ngerti sih?" Prilly mengerucutkan bibirnya sebal.

"Cinta selalu jadi boomerang bagi diri sendiri," balas Rassya.

"Gue mau mencoba, lagi?" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Prilly tidak ingin kalah dengan hidup, sudah cukup ia mengalah dengan takdirnya selama ini.

"Iya, iya serah lo dah. Terus besok lo beneran gak ke pesta ulang tahunnya Ali?" Tanya Rassya.

Prilly menggeleng sembari tersenyum jenaka, "Gue gak berniat jadi jalangkung kali. Datang gak diundang, pulang gak diantar. Hi...."

Rassya mengacak rambut Prilly pelan, "Jangan terlalu tegar, Pril. Karena sekali lo jatuh, lo gak bakal jadi orang tegar lagi." Prilly hanya tersenyum memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang