Mata Ali mengerjap kecil kemudian terbuka, ia menatap langit ruangan putih itu dengan dalam. Sudah dua minggu sejak kepergian orang yang sangat ia cintai. Ali masih belum pernah mengunjungi tempat peristirahatan terakhir kekasihnya itu. Sejak kejadian ia memaksa untuk berdiri hari itu, keadaannya semakin memburuk.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Rassya, Indah, Ghina, Gritte, dan Bimo. Setiap pulang sekolah, memang Ghina dan Bimo selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Ali. Ali tidak menoleh sama sekali ke arah mereka.
"Li," panggil Bimo.
"Lo udah makan?" Kali ini Ghina bersuara. Melihat mangkuk bubur Ali masih penuh, Ghina tidak jadi bertanya lebih lanjut.
"Gue yakin, Prilly pasti gak tenang di atas sana kalo ngelihat keadaan lo kayak gini," ujar Gritte.
Air mata Ali kembali mengalir, namun tidak bersuara. Bimo menghela napasnya sedih, "Lo harus cepat sembuh, Li."
"Biar lo bisa jengukin Prilly di rumah barunya," lanjut Bimo dengan raut sedih.
Rassya hanya diam melihat kondisi Ali yang bahkan jauh dari kata 'baik'. Entahlah, mungkin Rassya merasa Ali pantas mendapatkan perasaan menyiksa ini. Sedangkan Indah, ia menatap sendu ke arah Ali.
"Makan ya?" Bujuk Ghina sambil mengangkat mangkuk bubur Ali. Tangannya mulai menyendok dan mengarahkan ke mulut Ali. Namun, pria itu tidak memberikan akses sama sekali.
"Ali, lo harus punya energi," lanjut Ghina sedih.
"Gue kehilangan sosok yang selama ini selalu gue lindungi," Rassya berujar dengan datar.
"Gue kehilangan sahabat terbaik gue," lanjut Indah.
"Gue kehilangan orang yang gue cintai," ujar Bimo lemah.
"Gue kehilangan orang yang paling kuat dan tulus yang pernah gue temuin," timpal Gritte.
"Dan gue, gue kehilangan sahabat yang udah gue jahatin selama ini. Gue bahkan hiks belum nebus semua kesalahan gue," isak Ghina sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kita semua merasakan kehilangan yang sama," ujar Indah.
Ali masih tetap diam dan enggan bersuara.
"Prilly ada titip sesuatu ke gue sebelum dia pergi," nada Indah merendah.
Ali menolehkan kepalanya sedikit, lehernya masih kaku dan susah digerakkan. Matanya penuh dengan air, "Apa?"
Ali sudah bisa berbicara dengan jelas meskipun sesekali masih terbata, karena cervical collar yang menyangga lehernya sangat tebal dan membuatnya agak kesulitan berbicara. Napasnya juga terengah-engah apabila mengucapkan kalimat yang panjang.
"Tapi, lo harus sembuh dulu," balas Indah.
"Tolong," ujar Ali pelan.
Indah menggeleng, "Prilly bilang lo harus sembuh dulu, baru lo boleh lihat."
"Gue baik-baik a...jah," balas Ali terengah.
"Mending sekarang lo makan dulu, Li. Lo fokus sama kesembuhan lo dulu. Setelah itu, gue janji gue bakal temenin lo berkunjung ke rumah baru Prilly." Ujar Bimo sambil mengambil alih mangkuk di tangan Ghina.
"Gue mau Pril...Lih," nada Ali memelan, bahkan sangat pelan.
"Gue yakin Prilly pasti kangen juga sama lo. Dia pasti pengen lihat lo cepet-cepet temuin dia di rumah barunya," balas Bimo.
"Jadi, lo harus segera sembuh." Rassya berkata dengan nada tegas.
"Udah cukup lo buat dia sedih sewaktu dia masih hidup. Jangan buat dia sedih lagi di atas sana saat ngelihat keadaan lo sekarang." Tandas Rassya sambil memicingkan matanya kepada Bimo, memberi kode untuk segera menyuapi Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay (Away)
Fanfiction⚠️Cerita Mengandung Bawang⚠️ "Lo maunya apa sih?!" Prilly mengeluarkan seringai menggodanya. Tangannya terulur menuju kerah seragam Ali, ia menarik kerah Ali hingga tubuh Ali terhempas mendekat ke arahnya. Lantas ia berbisik dengan suara seraknya, "...