11. Realita Rasa Pahit

5.3K 633 78
                                    

Hubungan Prilly dan Gritte masih sama seperti saat mereka bertengkar tempo hari, tidak ada yang berniat untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Saat-saat terpuruk seperti ini, hanya ada Indah, Rassya, Fathar, Dino, ditambah dengan Maxime.

Fathar dan Dino yang sempat terlihat seperti menjauhi Prilly ternyata tidak, mereka hanya berusaha bersikap netral tanpa menghakimi pihak mana pun.

Untuk Ali sendiri, sebelum ataupun sesudah pertengkaran, toh ia tidak pernah menganggap keberadaan Prilly. Prilly pun agak mengurangi komunikasinya dengan Ali, mengingat Ali sempat memakinya bersama dengan Gritte.

"Gue udah sering banget bilang sama lo dan gue gak akan pernah bosen untuk ngingatin lo, Pril. Semua orang datang dan pergi pada waktunya, semua ini cuma masalah lo udah rela atau belum doang," ujar Indah.

Prilly tersenyum jenaka lantas ia mengangguk, "Mungkin sekarang gue belum rela, tapi suatu saat gue akan terbiasa kok."

Indah mengetukkan jarinya di dahi, "Gue tau ini terasa berat, tapi lo harus belajar buat rela, Pril. Aneh aja rasanya, Prilly yang dulunya pecicilan minta ampun sekarang malah kayak anak baru yang jaim banget."

Prilly memalsukan suara tawanya, "Oh ya? Hahaha...iya, itu lucu banget!"

Indah mengernyitkan dahinya, tingkah Prilly makin hari makin aneh, seperti tidak terkontrol. Indah meneguk ludahnya kasar, ia mengikuti pergerakan ekor mata Prilly. Ia menghela napasnya, akhirnya ia mengerti akan perubahan sikap Prilly. Dari arah pintu masuk terlihat siluet Gritte, Ghina, dan Natasha yang sedang tertawa tanpa beban.

Indah menyenggol lengan Prilly pelan, kepalanya sedikit ia tundukkan guna mensejajarkan dengan telinga Prilly. "Jangan dilihat kalo itu buat lo sakit," bisik Indah.

"Gak ada alasan buat gue sakit hati, In. Apa yang dibilang Gritte mungkin ada benarnya, gue gak pantes jadi sahabat dia, itu alasan kenapa dia nyesel pernah jadi sahabat gue," balas Prilly sambil tersenyum.

Indah tahu betul, senyuman jenis apa yang Prilly keluarkan. Senyuman terpaksa yang menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Rasa egois bisa menghancurkan apa yang selama ini lo bangun, Pril. Kalo gitu, coba deh kurangin keegoisan lo, supaya hal yang sama gak terjadi untuk kedua kalinya," ujar Indah.

"Gue cuma gak habis pikir sama Gritte, In. Gue kira dia bakal, ah...mungkin dia lelah sama sikap gue yang seenaknya. Gue mohon sama lo, sefatal apapun kesalahan gue nantinya, jangan tinggalin gue, please." Indah hanya diam tanpa memberikan jawaban yang pasti, ia hanya takut jika ia pergi bukan karena kesalahan Prilly, tetapi malah karena kesalahannya sendiri yang membuat Prilly pergi.

"Indah?" Ulang Prilly pelan.

Indah hanya tersenyum, "Lo udah sarapan?" Prilly menghela napasnya lalu mengangguk.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," ujar Prilly sebal.

"Pril, semua orang itu bakal datang dan pergi. Gue gak bisa janji buat stay sama lo, suatu saat nanti kita pasti berpisah, entah karena jarak atau waktu," balas Indah lesu.

Prilly menggelengkan kepalanya keras, "Kenapa rasanya sulit banget buat janji sama gue sih? Gue juga udah janji sama diri gue sendiri bakal bertahan sama Ali sampe kapan pun."

Indah menghela napasnya pelan, "Lo cuma janji sama diri lo sendiri, lo bisa ingkar kapan pun karena yang menyesal dan tersakiti hanya diri lo sendiri bukan orang lain."

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang