Prilly duduk menyendiri di bangkunya, tidak ada candaan ataupun ceramahan untuknya. Kesepian sudah menemani dua hari terakhir ini. Bahkan Gritte memilih untuk pindah ke tempat lain, hanya untuk menghindari Prilly. Entahlah, hanya saja Prilly merasa hatinya kosong dan hampa. Ia kehilangan sesuatu, ah tidak, ia kehilangan segalanya. Ia kehilangan dua sahabatnya sekaligus, hanya karena hal sepele, apa itu pantas disebut hal sepele? Jika itu hanya hal sepele seharusnya Rassya dan Gritte bisa memaklumi dan memaafkannya, bukan malah menjauhinya.
"Pril? Kok melamun mulu gue liat?" Tanya Indah. Prilly menggeleng, ia belum siap untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Lo yakin gapapa? Kapan pun lo butuh, gue bakal dengerin cerita lo," timpal Indah.
"Gue pengen mati aja, In." Ujar Prilly dengan frustasi.
"Hei, lo bicara apa sih? Semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya, enggak dengan cara gini." Bujuk Indah.
"Gue capek, In. Orang-orang yang dulunya berada di pihak gue, sekarang mereka semua udah pergi. Gue udah gak berguna lagi buat tetap hidup di dunia ini," ujar Prilly lirih.
"Pril! Lo lihat gue! Masih banyak orang di luar sana yang menghadapi masalah lebih berat dari lo, apa mereka bunuh diri dan lari dari kenyataan? Enggak 'kan?" Tanya Indah.
Prilly menggelengkan kepalanya, kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menutup wajahnya.
"Gue pengen pindah sekolah," ujar Prilly lagi.
"Lo gak bisa lari dari kenyataan!" Tekan Indah.
"Gue gak bisa hadapin ini, In. Gue belum siap," balas Prilly. Bahunya bergetar hebat, menandakan bahwa ia sedang menangis.
"Jangan nangis, lo akan kelihatan lemah di depan mereka," bisik Indah.
Terlanjur sudah, Prilly tidak bisa menahan semuanya sendiri. Ia butuh teman untuk berbagi semua rasa sakit ini, rasa sakit yang bahkan ia sendiri tak mengerti dari mana asalnya. Rasa sakit yang tercipta oleh dirinya sendiri atau tercipta dari orang-orang di sekitarnya?
"Gue emang lemah, In. Gue pengen pindah sekolah, gue pengen menjauh dari mereka semua. Bantu gue," isak Prilly.
Indah mengelus lembut pundak Prilly, sejujurnya ia tidak mengerti konteks mereka dalam ucapan Prilly.
"Lo dihina lagi sama Ali?" Tanya Indah.
"Bukan cuma itu, Gritte hiks dia hiks bahkan Gritte hiks dia nyesel hiks." Indah mengernyitkan dahinya, tetapi ia tidak mau bertanya terlebih dahulu.
"Udah, udah, jangan nangis dulu. Entar kalo lo udah agak baikan, lo baru cerita ke gue," usul Indah.
"Gue yang salah, gue udah nyakitin Gritte, gue nyakitin Ali, gue nyakitin Ghina, gue nyakitin Rassya, gue nyakitin semua orang, In. Apa gue juga nyakitin lo?" Tanya Prilly masih dengan isakannya.
Indah menggeleng, "Enggak, Pril. Lo gak nyakitin gue sedikit pun, lo tenang dulu ya."
Prilly menghapus air matanya yang sejak tadi tidak berhenti menetes.
"In, lo lihat deh, bahkan Gritte gak merasa kehilangan gue sedikit pun. Apa selama ini dia gak tulus sahabatan sama gue, ya?" Tanya Prilly yang sedang menatap Gritte tertawa bahagia.
"Semua orang itu datang dan pergi, lo tinggal tunggu waktunya aja." Balas Indah.
"Gue belum siap kalo Gritte harus pergi dari hidup gue," balas Prilly lagi. Sejujurnya, rasanya jauh lebih menyakitkan apabila orang yang selama ini mendukungnya malah ikutan membenci dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay (Away)
Fanfiction⚠️Cerita Mengandung Bawang⚠️ "Lo maunya apa sih?!" Prilly mengeluarkan seringai menggodanya. Tangannya terulur menuju kerah seragam Ali, ia menarik kerah Ali hingga tubuh Ali terhempas mendekat ke arahnya. Lantas ia berbisik dengan suara seraknya, "...