4. Tamu Yang Terlupakan

3.6K 513 95
                                    

Indah mendudukkan dirinya di sebelah Prilly. Tangannya mengelus puncak kepala Prilly dengan lembut, ia bisa merasakan betapa hancurnya hati Prilly saat ini.

"Sejujurnya gue pengen banget nyuruh lo buat berhenti nangis, karena nangis itu gak bakal nyelesaiin masalah. Tapi gue tau, nangis itu adalah cara lo untuk ngungkapin isi hati lo saat ini." Ujar Indah dengan lembut. Prilly tidak merespon ucapan Indah, karena ia masih bergetar dalam isak tangisnya.

Rassya beserta Fathar dan Dino yang baru saja masuk ke kelas, langsung menghampiri Prilly. "Pril, lo kenapa? Kok nangis?" Tanya Fathar.

Ia mengayunkan dagunya ke arah Indah, berusaha mencari tahu apa yang baru saja dialami oleh Prilly. Indah menggeleng, "Udah duduk sana. Biar gue yang urus ini." Rassya memposisikan tangannya di bahu Prilly, mengelus-elus bahu Prilly berusaha meredam tangisan Prilly.

"Cowok kayak gitu, gak pantes buat ditangisin," ujar Rassya sinis. Ucapan Rassya membuat tangisan Prilly semakin menjadi, ia mengangkat kepalanya lalu menggeleng kecil.

"Sya, gue cinta sama Ali." Orang-orang disekitarnya menatap Prilly iba sekaligus khawatir.

Rassya menganggukkan kepalanya, "Tapi dia enggak cinta sama lo, Pril." Prilly menatap Rassya dengan tatapan sedih disertai sesegukan kasar.

"Lo gak butuh dia dalam hidup lo, Pril." Rassya tidak mengerti dengan perasaan Prilly.

"Tapi gue cinta," balas Prilly sesegukan.

"Lo cinta dia, tapi lo gak butuh dia. Lo harus move on!" Tekan Rassya.

"Sya! Lo gak bisa maksain Prilly buat move on!" Indah menatap Rassya dengan tatapan tajam.

"Tau apa sih lo tentang Prilly?" Tanya Rassya sinis kepada Indah.

"Gue mungkin gak tau apa-apa tentang dia, tapi setidaknya gue gak maksa dia buat berhenti mencintai seseorang yang dia cinta." Balas Indah tak kalah sinis.

"Asal lo tau ya, Prilly gak perlu mencintai seorang bajingan kayak Ali." Indah menggeleng tidak setuju. "

"Prilly hanya mau memperjuangkan apa yang dia rasa perlu untuk diperjuangkan." Prilly hanya diam menikmati perdebatan kecil di hadapannya, isak tangisnya sudah mulai mereda.

Rassya membuang mukanya, "Tapi Ali gak pantes untuk diperjuangin." Indah hanya diam mendengar ucapan Rassya yang terkesan datar.

"Pril, kalo perjuangin Ali cuma buat lo sakit hati. Gue mohon supaya lo berhenti buat perjuangin dia," pesan Rassya sambil menatap Prilly lekat.

"Sya, lo tau kan kalo gue cinta sama dia? Bukannya cinta itu harus diperjuangkan? Lagian Alinya gak salah kok, gue aja yang terlalu sensitif sama kata-kata dia. Maklum Sya, lagi dapet," balas Prilly sambil menyengir kuda.

Rassya menghela napasnya, lihatlah gadis di hadapannya, bukankah ia sangat tegar? Bahkan penolakan Ali yang terkesan sadis, tidak merubah jalan pikirannya sedikit pun.

"Kalo lo lelah, lo boleh berhenti kapan aja. Ada gue sama anak-anak lainnya yang bakal ready untuk jadi tempat peristirahatan lo." Ujar Rassya.

"Kampret lo! Lo kira gue udah mau mati apa, hah?!" Ujar Prilly berkacak pinggang. Ia mengangkat tangannya untuk menjambak rambut Rassya, untung saja Rassya sigap untuk menghindar.

"Lagi selek sama Gritte?" Tanya Rassya sambil melirik ke arah Gritte yang duduk berjauhan dari mereka. Prilly menarik napasnya lalu menghembuskan dengan kasar, mengangguk membenarkan ucapan Rassya.

"Seminggu lagi, Ali bakal ultah. Dia ngundang kalian gak?" Tanya Prilly sambil melirik satu-persatu temannya. Indah terlihat menganggukkan kepalanya, sedangkan Rassya, Fathar, dan Dino hanya diam.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang