58. Bunga Terakhir

1.6K 126 13
                                    

Lorong rumah sakit terasa begitu sepi dan senyap. Semua orang duduk sambil menunduk. Merapalkan doa agar seseorang yang sedang bertarung antara hidup dan mati dapat bertahan di dalam sana.

Semuanya terasa begitu mendadak. Yang Ali tahu bahwa benturan akibat kecelakaan mereka kemarin menyebabkan pembuluh darah di otak Prilly tersumbat. Dan mungkin efek Prilly yang banyak menangis, berpikir terlalu keras, atau mengalami perubahan emosi yang cukup drastis, membuat pembuluh darah di otaknya pecah.

Entah bagaimana ceritanya, Ali duduk di atas kursi roda menghadap kaca ruangan Prilly. Padahal tubuhnya masih dalam tahap pemulihan dan masih tidak boleh banyak bergerak. Tetapi, ia memaksa ingin melihat gadisnya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Samar-samar, Ali dapat mendengar kericuhan yang terjadi di dalam ruangan Prilly. Matanya menerawang dengan kosong. Tidak ada air mata ataupun isakan kesedihan dari mulutnya. Ia terpaku pada seseorang yang sedang berbaring nyaman di ranjang dengan mata tertutup rapat.

"Naikkan joulenya! Isi sampai 180 joule," Ali melihat seseorang yang berjubah putih menggesek dua benda yang tidak asing. Itu, defibrilator.

"Isi sampai 200 joule," Ali menangkap percakapan di dalam ruangan itu dengan cukup jelas. Menaikkan joule berarti menaikkan tegangan listrik. Hal itu pasti akan membuat gadisnya kesakitan.

Sekali lagi, benda bertegangan listrik itu ditempelkan di dada Prilly. Guna untuk memulihkan detak jantung gadisnya. Namun, gadisnya masih tidak menunjukkan perubahan apapun.

"Kita coba sekali lagi, 200 joule." Tubuh gadisnya tersentak, namun tidak menunjukkan reaksi apapun. Matanya tetap terpejam dengan rapat. Elektrokardiograf disampingnya juga tidak menunjukkan perubahan. Hanya sebuah garis lurus yang bergerak tanpa henti.

Kemudian, pintu ruangan Prilly terbuka. Menunjukkan wajah penuh penyesalan dari seseorang yang berjubah putih tadi. Semua orang yang berada disana, mengerubungi dokter itu.

Dokter itu mendesah kecewa, "Maaf, kami gagal."

Ali tidak terkejut mendengar penuturan dokter itu, hanya saja dia masih tidak percaya. Gadisnya. Gadisnya. Jelas-jelas gadisnya baik-baik saja tadi pagi. Bagaimana mungkin gadisnya pergi begitu saja?

Raungan dan racauan paling keras lolos dari mulut Vika, ibunda Prilly. Melihat anaknya meregang nyawa membuatnya benar-benar terpukul, padahal mereka baru saja berjanji untuk memperbaiki hubungan. Resi yang melihat hal itu, memeluk dan menenangkan Vika.

Kevin dan ayah Prilly juga hadir disana, mereka meneteskan air mata meskipun tidak histeris. Sedangkan Bani, pria itu melayangkan tinjuan ke udara. Ia merasa kacau dan terpukul mendengar saudara tirinya tidak akan pernah membuka matanya lagi.

Indah, Gritte, dan Ghina sudah menangis tersedu-sedu. Rassya memeluk Indah dari samping, ia juga sama terpukulnya. Bahkan giginya gemeretak satu sama lain, menahan begitu banyak kesedihan. Air matanya lolos begitu saja untuk sahabat tercintanya.

Bimo, tubuh pria itu telah merosot ke lantai begitu mendengar kabar menyakitkan dari dokter. Air matanya mengucur dengan deras tanpa suara. Gadis yang ia cintai, mengapa harus mengalami kehidupan setragis ini?

Dan yang terakhir Ali, dengan pelan ia menjalankan kursi rodanya. Memasuki ruangan dingin dan penuh kenangan. Ia memaksa lehernya untuk bergerak ke samping. Ia memandangi wajah damai Prilly dengan cukup lama. Bahkan ia tidak berkedip sedetik pun.

Gadisnya sudah tidak perlu merasakan sakit lagi.

Gadisnya sudah tidur dengan pulas.

Gadisnya sudah hidup bersama dengan keabadian.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang