---------------------------------
Happy Reading!
---------------------------------
"Kok diem?""Eh-maaf."
Anggi tersadar dari lamunan sesaatnya tadi. Lamunan yang terjadi akibat Tama menyebutkan satu nama yang sepertinya tidak asing di ingatannya.
"Kenapa?" tanya Tama.
"Gak apa-apa, masih kaget aja kamu dijodohin sama papi. Maaf aku udah salah paham tentang jalan-jalan itu."
"Enggak, itu salah aku. Aku yang gak kasih tau itu ke kamu." sesal Tama.
"Sejak kapan, Tam?"
"Papi bilangnya, sekitar setelah empat bulan kita pacaran."
"Kamu tolak?"
"Saat itu aku tolak, kalau sekarang aku udah mutusin untuk terima."
"Semudah itu, Tam? Kamu ambil keputusan?" Anggi jelas tak percaya dengan keputusan yang sudah Tama ambil.
"Sulit, Nggi. Tapi mungkin memang ini jalannya."
Anggi semakin menatap Tama lekat dengan kedua matanya yang sudah mulai berkaca-kaca, "apa alasan kamu terima itu?"
"Kemarin setelah pulang dari pemakaman, orang tua Indira minta aku cerita kronologis semuanya. Mereka sempet kaget dan marah saat tau kamu yang taruh obat itu. Tapi justru aku dibuat lebih kaget saat mereka gak ada niat sama sekali untuk nyelesain masalah ini lewat jalur hukum."
"Malamnya, papi cerita kalau beliau udah tau semuanya karena diceritain sama orang tua Indira. Saat itu juga papi semakin minta aku untuk putusin kamu." Tama menjelaskan tanpa ada kebohongan sedikitpun.
"Harus berapa kali aku bilang kalau bukan aku yang lakuin itu, Tam? Biar kamu percaya?"
"Aku cuma butuh bukti." Tama berucap tegas.
Anggi menghela napasnya pasrah, dapat diakui memang dirinya belum bisa menemukan bukti untuk ia beritahu pada Tama.
"Kamu yakin udah gak mau ngebantah perintah papi kamu lagi?"
"Enggak, aku akan coba jalanin dulu."
Sebenarnya, Tama masih sangat ingin melanjutkan kisahnya dengan Anggi. Menepati janjinya untuk tidak pergi. Tapi rasanya sulit. Kalau kenyataannya, takdir punya kisah lain yang harus ia jalani.
"Makasih banyak, ya, Nggi. Aku harap perpisahan yang kita selesaikan baik-baik ini, bisa buat kamu gak larut dalam kesedihan. Lupain kisah kita yang udah tercipta, biarkan momennya lenyap seiring waktu, maaf kalau aku terlalu egois, sampai akhirnya kisah kita terpaksa sirna."
"Gimana pun cara berpisahnya, yang namanya perpisahan tetap menyakitkan, Tam."
Sehabis mengatakan itu, air matanya lolos begitu saja. Anggi meraih satu tangan Tama, ia genggam tangan itu erat. Sementara matanya masih terus menatap netra lelaki di depannya yang juga tersirat kesedihan.
Tama melepas paksa tangan Anggi yang sedang menggenggam tangannya. Ia beralih merentangkan kedua tangan tidak terlalu lebar.
"Sini,"
Kata itu, membuat lengkungan kecil di bibir Anggi. Bersamaan dengan air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya.
Anggi langsung menghambur ke dalam pelukan Tama, yang kemungkinan besar, itu adalah pelukan terakhirnya dengan Tama.
Disatu waktu, tiba-tiba saja hujan deras mengguyur keduanya. Membuat mereka semakin memeluk erat. Rasanya dingin untuk tubuh, tetapi hangat untuk jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Presence Of Feel
Teen Fiction-𝙀𝙉𝘿- ❁❁❁ ❝ Lo pernah baca gak, quotes tentang kenapa kebanyakan manusia lebih suka senja dibandingkan fajar?" Anggi menggeleng. "Enggak, emang kenapa?" "Karena terkadang manusia lebih banyak meratapi kepergian dari pada menyambut yang datang." "...