EPILOG

843 80 141
                                    

----------------------------------
Happy Reading!
----------------------------------

Sepulang sekolah tadi, Anggi segera bersih-bersih sebab sore ini ia berencana untuk ke makam Indira.

Satu bulan setelah terbongkarnya rencana licik Arvin dan Grizel, selama itu juga Anggi tidak bertukar kabar dengan Tama, bahkan kontak mata di sekolah pun ia enggan dengan laki-laki itu, sama halnya dengan beribu pesan yang ia angguri dari Tama.

Hanya waktu serta support Anggara dan Gina yang perlahan berhasil menyembuhkan lukanya, sampai hari ini ia baru berani untuk mengunjungi makam Indira.

Anggi menyentuh nisan yang sudah berganti granit hitam, tangannya bergerak membersihkan debu tebal yang berada di atasnya, kemudian menaburi seplastik bunga.

"Maafin gue, Ra."

Hanya kalimat itu yang bisa Anggi katakan, fokusnya selalu teralihkan dengan moment yang terputar di otaknya, dimana waktu itu ia begitu yakin bahwa Indira adalah dalang dibalik masalah yang selalu hadir.

"Maaf gue udah nuduh lo yang kenyataannya gak salah sama sekali."

Anggi terus melontarkan kata maaf, tak peduli walau hanya hening yang membalas.

"Andai saat itu gue gak bolak-balik ke kasir buat pesen makan, andai gue gak ninggalin minumannya, andai kita pulang ke rumah bareng-bareng, lo gak bakal pergi. Andai kita punya waktu berdua di dunia lebih lama lagi, gue mau jadiin lo kakak kesayangan gue, Ra. Terlalu banyak kata andai tentang lo yang buat gue nyesel sekarang."

Anggi tersenyum, air bening di matanya luruh begitu saja. "Maaf, Ra."

"Indira anak baik, dia pasti maafin kamu."

Usapan pada nisan Indira seketika berhenti ketika Anggi menyadari ada orang menyahut ucapannya, gadis itu segera menghapus air mata yang membasahi pipinya, lalu menoleh ke belakang.

Ia hendak berdiri, namun laki-laki itu lebih dulu berjongkok mengikutinya.

Anggi memilih diam, bisa ia lihat Tama ingin melanjutkan kalimatnya.

"Jangan merasa bersalah, kamu juga korban disini." Tama mengalihkan pandangan pada nisan bertuliskan nama sahabat terbaiknya itu, sebelum kembali menatap wajah Anggi dari samping.

"Indira anak baik. Kamu juga. Kalian dua perempuan kuat yang bersedia memberi bahu untuk aku bersandar selain mami."

Tama mengusap pelan rambut Anggi yang terurai. "Udah, ya nangisnya? Indira udah bahagia disana, kamu pun harus begitu disini."

Anggi masih diam, gadis itu menatap Tama sekilas sebelum kembali menatap kosong ke depan.

Tama terkekeh tak bersuara saat tau Anggi masih marah padanya, dapat terdengar gertakan gigi yang gadis itu mainkan.

"Gak usah ditahan gitu, kalau mau lanjut nangis, nangis aja."

Tama mendekat, merengkuh tubuh Anggi, ia dekap dengan erat. Punggung gadis itu mulai bergetar, isakan tangis kembali terdengar.

Anggi menangis. Rasa senang dan sesak seolah kompak menyerang hati Tama, senang karena bajunya kembali basah dengan air mata gadis yang ia sayang. Sesak karena ia merasa gagal menepati segala janji yang ia berikan untuk Anggi.

Setelah sedikit lebih tenang, Anggi yang lebih dulu menjauh dari pelukan Tama.

"Makasih, Tam." ucapnya pelan, entah ia harus senang atau sedih ketika kembali marasakan hangatnya dekapan laki-laki itu.

Tama tersenyum tulus, tubuhnya maju mendekat ke depan wajah Anggi. Mata sembab gadis itu tertutup saat bibir Tama mendarat singkat di kelopak matanya.

Presence Of FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang