35 - Hukuman

606 71 73
                                    

--------------------------------‐
Happy Reading!
---------------------------------

"Kamu juga nuduh aku sembarangan."

Kalimat itu membuat kepalan tangan Tama mengendur, rahangnya yang semula mengeras pun perlahan melemah. Ia menghela napas sambil melihat ke arah lain, kemudian kembali menatap kedua bola mata Anggi.

"Aku nuduh kamu, karena kamu ada di tempat kejadian. Jangan kamu tuduh orang yang enggak ada disana." Tama berkata dengan suara rendah serta penuh penekanan, Anggi seketika merinding dibuatnya.

Anggi sedikit menunduk. Ia sebenarnya malas berdebat seperti ini, apalagi sekarang tidak tau harus mengatakan pembelaan seperti apa lagi. Membuat suasana menjadi hening beberapa detik.

Tiba-tiba, ia teringat akan satu hal yang pernah sempat Indira katakan, "Dhava juga ada disana, kenapa kamu gak nuduh dia juga?"

"Pasti kamu udah cerita masalah ini ke temen-temen kamu kan? Dan Dhava gak bilang?" lanjutnya.

Tama sempat menyerngit heran, dari mana Anggi tau kalau ia sudah cerita ke teman-temannya? Ah, mungkin Althaf atau Rayhan cerita ke Kyra dan Freta.

"Dhava bilang dia ada disana, dia juga bilang kalau berpapasan sama Indira. Tapi dia ada disana untuk beli pesanan Naraya. Jangan sangkut pautkan keberadaan Dhava disana dengan masalah kamu sama Indira, Nggi." jawab Tama tegas.

"Hadeh, gak berhasil nuduh gue. Sekarang nuduh temen Tama." sindir Grizel yang berada dibalik punggung Tama.

Anggi langsung mengalihkan pandangannya ke arah Grizel, gadis itu sedang memainkan bibirnya bermaksud meledek.

"Walaupun Anggi ada disana, lo nuduh tanpa bukti aja udah salah, Tam." Freta angkat bicara.

"Gak usah ikut campur." ketus Tama.

"ADA APA INI RAMAI-RAMAI?!" teriakan itu membuat atensi siswa-siswi yang sedang berkerumun teralihkan, mereka kembali ke meja kantin masing-masing.

Pak Ronald, datang bersama Rayhan dan Althaf yang mengenakan baju olahraga. Kelas mereka memang sebelum jam istirahat ada mata pelajaran olahraga.

Pak Ronald adalah guru olahraga yang sering memergoki siswa-siswi yang duduk di meja kantin. Rayhan sering menjadi korbannya.

"Kenapa ini?" tanyanya ulang.

"Tama, Anggi, Grizel. Ikut ke ruangan saya!"

Pak Ronald berlalu dengan meninggalkan perintah itu. Sedangkan Tama menghampiri Rayhan dan Althaf.

"Kenapa manggil guru?" tanya Tama.

"Lo susah dipisahin kalo lagi berantem. Kita cuma berdua, Dhava lagi bucin gak mau di ganggu, Genta sama Arvin gak tau kemana. Jadi kita panggil guru, kebetulan pak Ronald masih di lapangan." Rayhan menjawab dengan santainya.

Tama mendengus kesal, tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua temannya ini.

"Kalo gue dihukum, kalian mau bantuin?"

"E-enggak sih, Tam. Gue laper mau makan, duluan!" Althaf menepuk pelan bahu kedua temannya, kemudian pergi meninggalkan Tama dan Rayhan.

Rayhan mendongak menatap Tama dengan raut wajah paniknya, "samperin aja dulu, Tam. Masih mending gue sama Althaf manggil pak Ronald, dari pada gue manggil guru killer."

Presence Of FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang