18

1K 173 29
                                    

Kesadaran Surya kembali karena dua hal; rasa lapar dan denting ponsel. Suasana kamar tentu saja masih sepi dan temaram. Jam baru menunjukkan pukul setengah dua diri hari. Tetapi ponselnya yang berada di nakas samping tempat tidur menyala. Sepertinya dia lupa mengaktifkan plane-mode sebelum tidur. Bagaimana dia bisa mengingatnya jika tangisan Yasna terus rembes di dadanya. Perempuan itu baru berhenti menangis ketika adzan. Mereka harus shalat. Surya langsung mandi, sementara Yasna menyiapkan alat shalat mereka. Usai shalat, Yasna memilih tidur. Kali ini posisinya menghadap tempat Surya, meski tetap ada sekat berupa guling dan bantal besar.

Menoleh ke samping, perempuan itu masih tidur. Surai hitamnya menutupi sebagian wajah. Ternyata perempuan itu memiliki rambut panjang sebatas punggung dan dia merasakan lembutnya semalam.

Suara perutnya membuat Surya menyambar ponsel dan turun dari sana. Dia mengambil satu roti dan mengoles permukaannya dengan selai kacang. Mengambil satu lagi dan menumpuknya sebelum mulai memakannya. Sambil menikmati makan malamnya yang tertunda, Surya melihat sebuah pesan masuk.

Akbar:
Sur, apa adikku baik-baik aja?

Pesan itu mendarat beberapa menit lalu. Dia memutuskan mendial nomor Akbar. Pada dering keempat, lelaki itu mengangkat dan mengucap salam.

"Apa adikku baik-baik saja?"

"Apa kalian bertengkar?"

"Tentu saja tidak," jawab Akbar. "Kemarin aku menelponnya untuk mengabarkan kedatangan Akil di café, dia sempat membuat keributan di sana."

"Akil bilang sesuatu?"

Akbar menimbang-nimbang. "Y-ya. Dia memberi kabar kalau Dewi melahirkan dan minta maaf karena membatalkan janji menikahi adikku..."

"Mereka berencana menikah?"

"Aku ngga tahu, Surya. Itu sebabnya aku menelpon adikku dan ingin bertanya langsung. Tetapi sambungan telpon itu tidak berjalan baik, respon Nana sungguh di luar dugaan. Dia tampak terkejut dan mematikan sambungan ketika aku bertanya. Pesan-pesanku sejak siang pun tidak dibacanya. Apa dia baik-baik saja?"

"Sepertinya tidak."

"Apa dia menangis?"

"Ya. Cukup lama," jawab Surya.

"Aku tahu mungkin saat ini dia belum mencintaimu. Itu memang menyakitkan. Tapi tolong jaga adikku."

"Hmm," sahutnya sebelum panggilan itu berakhir. Masih ada jeda waktu sebelum jadwal mandi dan shalat Tahajjud-nya. Dia memutuskan mendial nomor yang sama. Masih operator yang menjawab. Akhirnya dia memutuskan menelepon nomor perempuan itu. Tidak diangkat. Surya berdecak, mereka menghindar untuk alasan berbeda.

Memanfaatkan waktu, Surya mendial nomor Rose. Di dering ketiga perempuan itu mengangkatnya. Nada riang perempuan itu mengalun di telinga, "Holla, Mr. Mesakh."

"Kamu terdengar berbahagia, Rose."

Bertepatan dengan itu, Yasna menuruni tangga. Dia berdiri di pertengahan tangga begitu nama perempuan itu kembali keluar dari bibir suaminya.

"Dia tidak berada di sana? I dunno. No, enggak sama sekali. Are you serious?! Ya, ya. Aku akan berusaha menemuimu akhir pekan ini. Thank you, Rose..."

Surya menutup sambungannya. Saat itulah matanya menatap sosok lain yang berdiri mengenakan setelan piyama. Rambut lurus perempuan itu terurai, membingkai wajahnya yang bersih. Surya menghembuskan napas lega, beruntung perempuan itu tak mampu mendengar apa yang diucapkan Rose. Setelah cukup lama saling bertukar pandangan, Yasna menghampiri Surya.

"Mas... menelepon siapa?" Yasna bertanya ragu. Perempuan itu mencepol rambutnya asal.

Surya tetap menatapnya ketika berkata, "Akbar, dan Rose."

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang