Setelah mandi dan mengenakan pakaian, Surya menyusul isterinya ke dapur. Dilihatnya perempuan itu tengah membantu Siti membuat jus jambu, ia lalu melemparkan senyum ke arahnya.
"Mau kubuatkan kopi juga buat di jalan?"
"Loh, memangnya Nak Surya mau kemana?"
"Pulang, Bun," isterinya yang menyahut.
"Belum juga sehari, Sur." Akbar yang baru turun dari lantai atas sembari menggendong Athia ikut-ikutan nimbrung. Surya hanya melempar senyum tipis dan membujuk Athia untuk beralih ke pangkuannya. Syukurlah anak itu mau.
"Mas Surya ada pekerjaan, jadi daripada aku sendirian di rumah, aku ke sini aja," jelas Yasna. Dia menuangkan jus jambu ke dalam beberapa gelas tinggi.
"Kalian nggak lagi berantem, kan?"
Surya menggeleng.
"Kami baik-baik aja kok, Bang."
"Abang masih belum percaya loh sama kalian," jujur Akbar.
"Sudah Bang, jangan diajakin bicara terus. Itu Surya mau makan," ucap Irvan. Lelaki itu muncul dari arah kolam belakang dan mencuci tangan di wastafel. Setelah seluruh personil lengkap, mereka mulai bersantap. Tak perlu waktu lama agar nasi goreng di piring masing-masing tandas dan beralih ke dalam perut. Surya menawarkan diri membantu cuci piring, namun Siti menolak dan menyarankan lelaki itu untuk berkemas saja. Meski sebenarnya tak ada yang perlu dia kemasi, Surya tetap menuju lantai atas. Sepertinya Yasna sedang menyiapkan barang bawaannya yang hanya berupa ransel berisi laptop.
"Mas," panggil Yasna begitu lelaki itu masuk kamar. Yasna baru saja menutup ransel yang akan dibawanya. Surya bergabung duduk di pinggir ranjang, "Aku sebenarnya ingin selalu menemani Mas."
Surya berdehem pelan. Dia tahu itu. "Maaf ya, Na. Saya belum bisa jaga Nana."
Yasna menggeleng pelan, "Mas selalu menjagaku dengan baik. Tapi kalau boleh kutahu, ini ada hubungannya dengan keluarga Om Bram, kan?"
"Saya mungkin harus melepaskan Atma Corp. Nana tidak keberatan kalau harus hidup sederhana?"
Yasna jadi teringat sesuatu, "Sedari awal, Mas tahu kan kalau suatu saat Mas harus melepaskan perusahaan itu? Apa itu alasan Mas menikahiku dulu? Karena aku tak ingin meneruskan perusahaan Papa, jadi Mas bisa mengambilalihnya."
Surya meneliti wajah istrinya, "Kenapa Nana selalu berpikir demikian?"
"Seseorang... pernah mengatakan itu padaku."
"Tapi saya tidak mengatakannya, bukan?" Yasna mengangguk. "Jadi jangan terlalu didengarkan."
Mereka tak bicara apa-apa lagi. Yasna memikirkan, apa mungkin seseorang di telepon itu berbohong padanya?
"Mas, apa yang akan Mas lakukan di sana?"
Surya mengendikkan bahu. Urusan perusahaan itu sebenarnya berada di bawah Pak Marcel. Surya hanya bertanggungjawab untuk membuatnya lebih maju dan membuat keluarga Bram meninggalkan bisnis mereka. Jadi, sebenarnya dia tidak akan melakukan apa-apa terhadap perusahaan itu selain mengadakan pertemuan terakhir dengan semua staff-nya dan berpamitan.
"Apa Mas akan baik-baik saja?"
"Tentu."
"Berapa lama aku harus tinggal di sini?"
"Mungkin seminggu," jawabnya setelah mempertimbangkan sesuatu.
"Apa tidak bisa lebih cepat dari itu?"
"Kenapa?" tanya Surya. Bukankah beberapa waktu lalu perempuan ini selalu terlihat betah tinggal di Solo?
Yasna menggigit bibirnya ragu sebelum menjawab, "Enggak kenapa-kenapa kok."

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Ficción GeneralSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi