25

1.1K 178 31
                                        

Surya mengucek matanya dan menyadari dirinya kembali tertidur di ruang kerja. Sudah beberapa kali hal itu terulang, meski harus diakui pada awal kepulangan mereka dari Solo dulu, dia memang sengaja melakukannya untuk menghindari Yasna. Dia meneguk air putih di atas meja, yang bahkan baru disadarinya berada di sana. Barangkali Yasna yang meletakkan itu ketika dia tidur.

Mengingat istrinya, lelaki itu segera bangkit dan bergegas pindah ke kamar. Hal yang juga dilakukannya beberapa kali sebelum malam ini. Biasanya, dia mendapati Yasna sudah terlelap dengan posisi meringkuk membelakangi pintu masuk dan Surya akan bergerak sepelan mungkin menaiki ranjang. Tetapi malam ini, posisi perempuan itu masihlah sama walau matanya belum terpejam ketika Surya baru saja mengintipnya.

Surya mendesah pelan sembari mengatur guling di tengah-tengah mereka, "Nana belum tidur?"

Yasna tidak menjawab sekalipun Surya menunggu respon perempuan itu selama beberapa detik, tetapi yang terdengar berikutnya justru isak pelan yang berubah menjadi tangis kecil. Surya mengubah posisinya menjadi menghadap perempuan itu, menyaksikan kulit punggung istrinya yang tak tertutup helai kain; yang juga baru pertama ini disaksikannya, dan anehnya membawa perasaan asing ke dalam dirinya. Selain isak tangis istrinya, rupanya ada yang salah juga dengan dirinya malam ini.

"Aku ngelakuin kesalahan apa sama Mas?"

Pertanyaan lirih itu berhasil membuat kesadaran Surya kembali walau sekejap. Rupanya kulit punggung Yasna yang bahkan tidak terlihat lebih lebar dari sejengkal berhasil mencuri fokusnya. Kalau boleh mengumpat, dia ingin melakukannya saat ini juga. Surya pernah menyaksikan kulit istrinya yang lebih lebar dari ini ketika tak sengaja memergokinya berganti baju, tetapi respon tubuhnya tidak seaneh ini.

Maka sekalipun dia sangat ingin mengumpati perasaan yang tidak tepat ini, yang keluar dari bibirnya hanya sebatas, "Ada yang salah."

"Iya apa kesalahanku? Mas bisa bilang langsung, gak perlu cuekin aku berhari-hari kayak gini. Kita ini suami-istri..."

Mendengar kata terakhir dari bibir istrinya, ia mengubah posisi menjadi duduk dan mengatur napas. Gerakan itu memancing perhatian Yasna untuk menoleh ke arahnya. Surya agak berkeringat, sementara dia sendiri perlu selimut karena suhu ruangan terasa agak dingin.

"Kita lanjut bicara setelah saya mandi."

Selepas itu Surya benar-benar berlalu ke kamar mandi. Lalu kembali dengan rambut yang masih basah. Tetapi ketika melihat ke arahnya, Surya kembali memalingkan wajah. Yasna hendak merasa tersinggung sebelum menangkap semburat yang tiba-tiba muncul di kedua pipi Surya. Dia lantas mendekat hanya untuk mengecek suhu lelaki itu.

"Get lost, Nana!" ketusnya sembari setengah mendengus.

Kali ini, Yasna tidak bisa untuk tidak tersinggung. "Kenapa? Apa aku terlihat semenjijikkan itu di mata Mas?"

Surya cepat-cepat menggeleng. "Bukan seperti itu. Tapi bisakah malam ini Nana menjauh dari saya?"

"Bukankah malam-malam sebelumnya Mas yang menjauhiku? Kenapa malam ini Mas justru meminta aku yang menjauh?"

"Because I want you," gumamnya tanpa sadar. Yasna terkejut mendengar pengakuan itu, pun lebih terkejut ketika mendengar lanjutannya. "Tapi saya sadar betul, saya tidak boleh melakukannya..."

"Kenapa?"

"Karena yang ada di dalam hati Nana bukan saya..." jawab Surya. "Seminggu lalu saya dengar Nana masih cinta sama Akil dan kekayaan saya tidak bisa membeli hati Nana..."

Yasna tidak bisa tidak menangis lagi. Jadi itu penyebabnya? Sekarang segalanya terasa wajar. Wajar lelaki itu marah, wajar lelaki itu bahkan meminta maaf ketika tak sengaja bersentuhan dengannya, sebab Surya menganggap istrinya masih milik orang lain. Perempuan itu mengusap air matanya setengah kasar, dia kesal dan juga merasa sedih.

"Mas ini nguping ya? Nguping kok setengah-setengah," dia mengusap wajahnya lagi, air matanya tidak berhenti merebak. Tapi dia kesal. "Waktu itu kubilang 'Benar. Aku memang masih sangat mencintaimu dan kekayaan Mas Surya tidak sedikitpun bisa membeli hatiku. Tapi itu dulu. Dulu, sebelum kutahu kalau rasa sayang Mas Surya kepadaku ternyata melebihi kekayaannya sendiri. Itu lebih dari cukup untuk mendapatkan hatiku.'

"Jadi nggak ada Akil lagi. Aku udah sayang sama Mas."

"Apa?"

"Aku sayang sama Mas."

"Bisa diulangi?"

Yasna ingin menggampar wajah Surya, apa dia tidak melihat wajahnya yang sudah terasa panas? Dapat dipastikan saat ini wajahnya amat-sangat merah. Tetapi bibirnya kembali terbuka untuk mengatakan yang ketiga kali, "Aku sayang..."

Surya mendadak merengkuhnya, mereguk perasaan itu langsung dari bibir istrinya. Mencecap dengan bibirnya juga. Sekali, dua kali, berkali-kali hingga dia merasa harus menyudahinya sejak dini.

"Ini keliru," gumam Surya. "Kita belum shalat sunnah. Saya bahkan belum pernah berdoa di atas ubun-ubun Nana. Ayo kita melakukannya dengan benar."

Di tengah pusaran rasa yang bergelora, Surya bahkan masih mampu mengendalikan dirinya. Bagaimana bisa perempuan itu sanggup untuk tidak jatuh cinta kepadanya?

***


Jika semalam lelaki itu mampu menahan diri untuk tidak mengumpat, lain lagi pagi ini. Pesan dari Lukas penyebabnya. Ternyata lelaki itu dalang dibalik kerusuhan perasaannya semalam. Surya dapat memastikan saat ini lelaki itu tengah tertawa sejadi-jadinya.

"Ada masalah di kantor?" Yasna bertanya begitu melihat Surya mematung memandangi isi ponselnya. Surya menggeleng, sedetik kemudian mengangsurkan ponselnya untuk dibaca Yasna.

Knp nih Pak Bos cuti mendadak? Oh, berterimakasihlah kpd segelas air yg saya bawa semlm...

"Semalam dia beneran masuk ruang kerja saya?"

Yasna mengangguk, "Mas Lukas mau pamitan pulang sekalian taruh berkas, memang sempat bawa air putih juga. Kenapa?"

Surya hanya menggeleng sambil mengibaskan tangan di udara dan merutuki Lukas dalam hati. Tak ingin membuat suasana paginya semakin semrawut, Surya memerhatikan wajah Yasna yang tak dipoles apapun.

"Maaf sudah menghindari Nana dan membuat Nana menangis semalam."

Yasna mengangguk. "Gak apa-apa. Tapi nanti kalau ada apa-apa, bilang ya. Jangan diem-dieman kayak kemarin."

Surya mengangguk, "Oke."

"Jadi kita resmi baikan nih?"

Surya kembali mengangguk. Dia mengulurkan tangan kearah Yasna yang tampak enggan beranjak dari kasur, "Ayo turun. Bibi sama Mario pasti nunggu di meja makan."

"Aku maunya tidur aja seharian."

"Sarapan dulu nanti bisa disambung tidurnya!"

"Oke. Asal gendong."

Surya berdecak pelan. Namun tetap berjongkok membelakangi istrinya. Surya sedikit menoleh dan terlihat perempuan itu menyingkap selimut, "Ayo naik ke punggung."

Beberapa saat berlalu, Surya memang merasakan pergerakan; bukan di punggung. Ada sesuatu yang menempel di pipinya, sekejap, sebelum tawa renyah Yasna mengalun di telinganya. Disertai langkah kaki lebar-lebar dan decit daun pintu. Bisa dipastikan wajah perempuan itu tengah bersemu dan nyaris masak. Surya menyentuh pipinya yang masih terasa hangat, kemudian tersenyum. Ah, perempuan itu...

Tetapi senyumnya lenyap begitu membaca notifikasi ponselnya sendiri.

Yeah, I'm pregnant. Tp tlg jgn beritahu siapapun, terutama Nana. Pls. Ak ga akn minta tanggungjawab siapapun.

TBC

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang