Lelaki itu memukul stir mobil berkali-kali sebelum menarik kasar rambutnya ke belakang. Rahangnya mengeras diiringi napas tersengal. Lalu matanya menangkap sosok lain yang berdiri di sebelah mobilnya, mengetuk kaca jendelanya perlahan dan tanpa menunggu izin, ia masuk. Duduk di sebelah lelaki itu, mengelus lengannya menenangkan.
"Apa yang membuat suamiku semarah ini?" Lelaki itu mengunci bibirnya rapat-rapat. "Mas Akbar..."
"Dimana Athia?"
"Aku menidurkannya di kamar Mas. Kita akan pulang sekarang?"
"Masuk dan tidurlah, Thalia. Aku ingin menenangkan pikiranku."
Thalia mengangguk mengerti, malam ini mereka akan menginap. "Boleh aku tahu Mas akan pergi kemana?"
Akbar menggeleng pelan. Ia tak punya tempat tujuan walau yang terbesit dalam pikirannya adalah bar atau cafe terdekat. Thalia tidak bertanya lebih lanjut dan hanya mengangguk, "Tolong, berjanjilah untuk pulang dalam keadaan baik dan membawa kembali sikap suamiku yang hangat."
Akbar menoleh sebentar sembari menyunggingkan senyum tipis. "Jangan menunggu aku pulang. Tidurlah."
Thalia mengangguk kembali sebelum keluar dari mobil. Tak ada alasan bagi Akbar untuk berlama-lama di sana, segera ia melajukan mobil dan membelah jalanan yang dihitamkan malam. Sepuluh menit berlalu, ia tak menemukan tempat yang menarik minatnya. Berkendara tak tentu arah dengan pikiran yang berkecamuk, hingga ia menemukan seseorang yang baru saja hendak memasuki mobil yang diparkir sembarangan. Ditekannya klakson beberapa kali hingga Akbar melihatnya mengernyitkan dahi.
Akbar ikut-ikutan memarkir mobilnya sembarangan sebelum keluar dan menghampiri lelaki itu.
"Akbar," sahutnya pelan. Nyaris menyerupai gumaman.
"Beruntung aku bertemu kamu di sini. Boleh aku ikut ke tempatmu?"
Mata tajamnya menyorot Akbar sebentar, "Saya cuma beli satu porsi. Mumpung masih di sini, saya akan order lagi."
Akbar melirik paper bag dengan logo restoran cepat saji yang masih ditenteng lelaki itu, "Tak perlu, Surya. Aku sedang tidak berselera."
"Okay. Ayo."
Keduanya masuk ke mobil masing-masing. Surya mulai melajukan mobilnya dan Akbar mengekor di belakang, rupanya hanya perlu dua puluh menit untuk mencapai apartemen lelaki itu. Hunian tipe studio, dengan perabot didominasi warna hitam dan kelabu. Baru pertama ini Akbar mendatangi tempatnya dan langsung terkesima; simple tapi bikin betah. Belum lagi jendela besar yang dibiarkan tak tertutup tirai, membingkai gemerlap kota Solo. Hingga ia tersadar sesuatu, "Sejak kapan kamu pindah ke kota ini?"
Surya tengah memindahkan makan malamnya ke atas piring. Akbar dapat melihatnya dari sofa di tengah ruangan. Sehingga tanpa repot-repot menoleh, lelaki itu menjawab, "Tidak pindah. Hanya membeli satu apartemen untuk beristirahat."
Dengan cekatan, Surya membuat dua gelas kopi liberika dan menyuguhkan salah satunya ke hadapan Akbar. "Saya harap kamu tidak keberatan hanya meminum secangkir kopi sementara saya makan malam."
Akbar menoleh pada piring lelaki itu, nasi putih dan fried chicken. Really? Surya repot-repot keluar hanya untuk membeli menu itu? Akbar tak dapat menutupi rasa herannya, "Ada dua hal yang tidak kumengerti."
Surya menunggu, "Pertama, apa yang membuatmu harus memiliki tempat peristirahatan di Solo sementara seluruh aktivitasmu berada di Jogja? Kedua, mengapa kamu tidak memesan menu itu secara delivery?"
"Kamu ikut kemari hanya untuk menanyakan itu?" Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Namun, bisakah Surya bersikap agak bersahabat dengannya? Mereka bukan orang asing yang baru saja saling kenal. Jumlah jemari Akbar dan Thalia masih kurang untuk menghitung seberapa sering mereka berurusan atas nama bisnis. "Apartemen ini tentu bentuk investasi. Untuk yang kedua, saya sedang ingin mencari udara segar."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Ficción GeneralSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi