Holla, happy reading!
____
Untuk ke sekian kalinya, Yasna melirik ponsel di atas meja yang tak kunjung menyala. Terhitung sudah dua hari Surya tak membalas pesannya, pun jarang menjawab panggilannya. Dia sibuk bekerja. Informasi itu tak hanya didapat dari Surya sendiri, tetapi juga dari Mario.
"Non Nana tenang saja, Mas Surya sibuk di kantor. Gak ada waktu buat lirik-lirik perempuan lain."
Tapi sekali saja perempuan itu tidak pernah merasa tenang. Entah mengapa, ada satu perasaan yang membuatnya tidak nyaman berjauhan dengan Surya; dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa laki-laki itu baik-baik saja, makan makanan sehat, dan banyak hal-hal lain. Untuk pertama kali, Yasna merasa keberadaannya di Solo---dan meninggalkan Surya, adalah sesuatu yang tidak benar.
Denting ponsel itu menarik perhatian Yasna. Dari Mario.
Mas Surya lg tdr, nnti sy minta dia telp Non Nana klo sdh bangun.
Yasna menghela napas dan agak misuh-misuh setelah melirik jam. Surya tidur pukul sepuluh pagi? Namun mau tidak mau dia menyimpan kembali ponsel tersebut dan meneliti laporan keuangan cafe dimana pendapatannya menurun dalam beberapa minggu terakhir. Entah berapa lama dia larut dalam berkas itu, tetapi ketika pintu ruangannya diketuk, dia tersentak kaget.
Kepala Salsa menyembul tak lama kemudian, "Yas, ada yang nyariin tuh di depan."
Dia bangkit sembari bertanya, "Siapa?"
Belum sempat Salsa menjawab, seorang lelaki berseragam cafe itu mendekat, "Mbak maaf, itu Mas Akil sudah menunggu di meja nomor 8."
"Akil?" gumamnya memastikan.
"Iya, Mbak."
"Ya sudah, saya ke sana sekarang."
"Yas, tapi..." sanggahan Salsa mengambang di udara. Perempuan itu sudah melangkah menjauhi area belakang dan tertuju ke meja nomor delapan. Lelaki itu ada di sana, mengenakan kemeja kotak-kotak seperti biasa. Tak banyak yang berubah, kecuali statusnya yang kini sudah menjadi suami dan bapak untuk manusia lain.
Sepertinya Akylo cukup lama berkunjung, terbukti dari red velvet cake yang telah tandas di atas piringnya. Menemani jus alpukat yang tersisa separuh.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi. Tetapi Yasna tetap duduk di hadapannya.
"Gimana kabarnya, Yas?"
"Baik. Sangat baik," jawabnya. Yasna hendak melayangkan protes, namun lelaki itu sudah lebih dulu mendahului.
"Aku cuma mau ngobrol, Yas. Soal masa lalu kita yang mungkin dapat kita sambung kembali."
Kendati terkejut, Yasna tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tak dapat menutupi rasa resah yang entah datang dari arah mana. Jika dulu perempuan itu selalu jadi yang paling tenang menikmati debar ketika bersama Akylo, tetapi lain dengan hari ini.
"Aku dan Dewi akan bercerai," lanjutnya. Kali ini mata Yasna melebar seakan hendak keluar dari tempatnya, memancing kekehan kecil dari Akylo, "Kamu selalu tampak menggemaskan, Yas."
"Apapun urusanmu dengan Dewi, tidak ada lagi urusannya denganku."
"Jelas ada, Yas. Aku masih bisa melihat perasaan yang sama di dalam matamu, perasaan yang juga masih kurasakan. Perasaan yang tak tergantikan walau aku sudah menikahi Dewi dan memiliki seorang anak. Aku tidak bahagia, dan aku pun tahu kamu tidak mencintai Surya. Tidak berbahagia dengannya," jawab Akylo. "Yas, Surya mungkin punya harta yang tidak kumiliki, tapi kekayaannya bahkan tak sedikitpun bisa membeli hatimu yang sudah lama menjadi milikku. Benar, kan?"
Perempuan itu mengepalkan tangan, "Benar. Aku memang masih sangat mencintaimu dan kekayaan Mas Surya tidak sedikitpun bisa membeli hatiku..."
***
Betapa terkejutnya Yasna ketika mendapati Mario tengah duduk santai di dekat meja nomor delapan. Ketika Akylo pamit---sedikit dipaksa olehnya, Yasna baru menyadari bahwa laki-laki itu ada di sana dan mengaku belum lama tiba. Sendirian. Sementara Surya masih berada di apartemen. Kini, mereka tengah menuju ke sana karena Surya sulit dihubungi. Dalam menempuh perjalanan singkat dari cafe ke apartemen Surya, Yasna tak berhenti bertanya kepada Mario.
Obrolan kami tidak terdengar jelas, kan? Meski Mario mengaku bisa mendengarnya, Yasna tetap tak berhenti menanyakan pertanyaan serupa.
"Sejak kapan Mas Surya punya apartemen di sini?"
Agaknya itu menjadi pertanyaan baru yang diajukan Yasna, tepat ketika jemari Mario bergerak lincah menekan password.
"Sudah lama. Sesekali..." suara Mario terputus karena lelaki itu segera melangkahkan kaki menuju pintu di dekat pantry. Yasna tentu mengekor di belakang, "Mas muntah?"
Surya tak menjawab, tetapi suara Surya mengeluarkan isi perut masih saja terdengar.
"Mas, ini aku. Tolong buka pintunya," pinta Yasna. Begitu Yasna mendorong pintu, baru disadarinya pintu itu tidak dikunci sedari tadi. Perempuan itu memberanikan diri masuk ke dalamnya. Surya tengah berdiri di dekat toilet, sebelah tangannya bertumpu pada dinding sementara sebelah tangannya memijat dahi. Hidungnya agak memerah dan sudut-sudut bibirnya tampak agak basah. "Mas kenapa? Pusing?"
Surya mengangguk sebelum membilas wajahnya dan beranjak. Yasna tetap setia mengekor di belakang sampai Surya menjatuhkan diri di atas kasur single.
"Mas, ini kubuatkan air gula," ucap Mario sambil meletakkan gelas di atas meja. Asapnya masih dari dalam gelas masih mengepul. "Mas kayaknya masuk angin."
Surya mengangguk saja.
"Aku bawa minyak kayu putih," ucap Yasna, dia berinisiatif membalurkan minyak itu ke perut dan dada Surya, tetapi lelaki itu ingin melakukannya sendiri.
"Yo, sepuluh menit lagi kita ke rumah Papa buat pamitan."
"Apa tidak sebaiknya kita istirahat dulu, Mas? Kita bisa pulang besok."
Surya menggeleng, "Saya ingin pulang hari ini."
"Aku... sudah boleh ikut pulang?" tanya Yasna berusaha masuk ke dalam obrolan mereka. Surya mengangguk.
Entah mengapa, Yasna merasa Surya mengabaikannya. Praduganya diperkuat dengan sikap Surya yang lebih banyak diam selama di rumah Irvan. Bahkan ketika pulang, lelaki itu memilih duduk di kursi penumpang depan dengan dalih agar joknya dapat diatur menjadi setengah telentang. Padahal di kabin kedua pun Surya masih bisa tiduran dengan kepala diletakkan di atas pahanya.
Beberapa jam perjalanan itu terasa amat berabad-abad karena hening. Yasna hanya dapat melirik Surya yang terlelap, sesekali terbangun karena ingin minum. Tetapi Surya yang dia tahu, sulit sekali tertidur secepat itu. Kalau tidak benar-benar kelelahan, bisa jadi Surya hanya berpura-pura. Untuk apa Surya melakukan itu semua?
Semula, Yasna mengira lelaki itu menyiapkan kejutan untuknya, sebab begitu tiba di rumah dia menyaksikan dapurnya sudah berubah. Dan ketika ditanya mengapa dapur mereka direnovasi, Surya menjawab, "Biar Nana makin betah memasak."
Jika Surya menjawabnya seperti biasa, Yasna mungkin bersemu. Tetapi Surya mengatakannya sambil lalu, kemudian bergegas memasuki ruang kerja. Bahkan hingga malam pun, Surya sama sekali tak menampakkan batang hidung di kamar mereka. Dia bahkan tidak turun untuk makan malam bersama.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Ficción GeneralSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi