1

3.4K 246 6
                                    

Suasana café tampak jauh lebih ramai dari biasanya. Read-sto & Café kian melejit setelah dirombak besar-besaran; mulai dari nama hingga konsep. Bisa dibilang, Yasna adalah alasan utama kemajuan bisnis keluarga itu menjadi berkembang dan terkenal. Perempuan itu kini tengah berkutat dengan cupcake mini dengan toping warna-warni. Penampilannya disempurnakan oleh apron warna hitam, berlogo masakan di atas sebuah buku. Sesuai dengan target pasarannya; anak-anak indie yang hits dengan kopi dan puisi.

Lima tahun lalu, tepat ketika Yasna baru lulus dari sekolah menengah atas, keluarganya pindah menuju kediaman sang Nenek di Solo. Menyusul kepindahan Addar dan Naufal ke Yogya beberapa tahun sebelumnya. Café milik Siti dijual kepada Wa Qulsum, untuk modal awal membuka café baru di tanah kelahiran Irvan. Namun, selama beberapa tahun berdiri, tempat itu kalah saing dengan bisnis lain yang serupa. Baru pada tahun ketiga Yasna berkuliah, perempuan itu turut terjun mengelola café secara bertahap. Ia memulainya dengan mengeluarkan varian menu kopi. Langkah awal yang memberinya banyak peluang untuk mengeksplor kreativitas lain. Dan setahun lalu, ia memutuskan mendirikan toko buku dan menggabungkannya dengan café. Pengunjung jadi dapat nongkrong sekaligus membaca buku yang sudah disediakan untuk dibaca di tempat, dan dapat membelinya jika berminat. Hasilnya bisa dilihat hari ini; dapur begitu pengap dan panas, pelayan tak berhenti mondar-mandir dari satu meja ke meja lain, bahkan ia turut terjun menghias cupcake.

"Serius amat, Dek!"

Yasna abai pada suara yang kerap mampir seenaknya. Badannya tetap membungkuk demi mempercantik cupcake terakhir di atas meja pantri. Diam-diam ia melirik sejenak. Lelaki itu mengenakan kaus putih dengan celana jeans selutut. Secara berkala, lelaki itu selalu datang menemuinya di café.

"Ganggu aja!"

Perempuan itu melempar protes, bukan ditujukan untuk menimbulkan kesan dan aksen kesal. Nadanya tetap seperti biasa, hanya padanan katanya yang menunjukkan makna demikian. Sekalipun tidak terbersit dalam hatinya untuk kembali seperti dulu. Begitu jauh dan kaku. Mereka sudah berbaikan dan ia mencoba menerima kehadiran lelaki itu di hidupnya. Maka cepat-cepat perempuan itu menyelesaikan pekerjaannya, "Tumben Kakak mampir ke dapur."

"Bantu karyawan angkut sayur," jawabnya sambil nyengir.

"Kata Ayah, Kakak belum pulang dari New York."

Naufal tersenyum tipis. Ekspresi lelaki itu berubah, "Baru nyampe tadi pagi, langsung ikut Fahri ke sini antar sayur dan ikan."

"Mau Adek buatkan teh hangat?"

"Boleh," jawabnya. Senyum Naufal kembali terbit. Matanya mengekor gerakan perempuan itu, sementara tubuhnya bergerak mendekati high chair di sudut dapur. Perempuan itu bergerak gesit, menuang gula dan menyeduhnya dengan air teh panas.

"Nggak berniat kerja di firma, Dek?" pertanyaan itu Naufal lontarkan sesaat setelah Yasna menyodorkan secangkir teh. Perempuan itu menggeleng, sesuai dugaannya.

"Kerja kayak gini lebih santai. Lagipula Bunda atau Papa juga gak maksa Adek buat jadi pengacara," jawabnya ringan.

Hening memerangkap keduanya di sudut dapur. Lalu dipecahkan oleh kehadiran salah satu pelayannya di sana, disusul kemunculan seorang lelaki jangkung di belakangnya.

"Akylo!" seru Yasna tak percaya. Naufal kembali mengubah ekspresinya. Memindai penampilan lelaki itu dari atas rambut hingga ujung kaki. Rambut hitam yang selalu klimis, kemeja lusuh, dan celana bahan hitam. Dilengkapi sandal tali hitam khas lelaki. Diam-diam Naufal mempertanyakan, benarkah lelaki ini yang dipilih Yasna sebagai pendamping hidupnya?

"Kak Naufal," sapa lelaki itu ramah. Sekilas Naufal dapat melihat lelaki itu menganggukkan kepalanya sembari tersenyum ramah. Hal itu tak akan mengubah pandangannya terhadap lelaki itu. Ia tidak setuju. Sama sekali tidak setuju jika yang dapat menaklukkan hati adiknya adalah Akylo Darmasena. Pemuda pengangguran jebolan salah satu universitas negeri di Surabaya. Bukan karena lelaki itu tidak setara secara materi dengan keluarganya. Anggapan bahwa lelaki itu tidak sebaik yang terlihat adalah alasan utama keluarganya menentang. Dan bagi Naufal, ia punya alasan pribadi yang sangat private.

"Kita bicara di taman belakang aja, Kil," ajak Yasna. "Kami permisi, Kak."

Keduanya beranjak menuju connecting door, lalu berbelok ke arah kanan. Di bawah pohon mangga adalah tempat yang dipilih keduanya untuk berdiskusi.

"Aku nggak akan lama. Aku ke sini cuma mampir abis dari apotek sebelah, Yas. Kebetulan apotek dekat kost-ku tutup," lelaki itu mengawali pembicaraan. "Aku sebenarnya malu bilang ini—tapi kondisi Ibu makin parah dan aku harus pulang, apa aku boleh pinjam uangmu... lagi?"

"Kamu gak perlu nanya gitu, aku pasti bantu. Dokter bilang Ibumu sakit apa?" suaranya diliputi rasa khawatir. Namun, tangannya merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Jemarinya berkelana cepat di layar tersebut sebelum berkata, "Sudah kutransfer."

"Kanaya gak bilang soal itu. Waktu kuhubungi tadi pagi, dia cuma kasih tahu kalau Ibu harus dirawat inap," Akylo menyebut nama adiknya. Meski tenang, Yasna dapat melihat kekhawatiran yang tampak di kedua matanya. "Maaf udah ngerepotin kamu terus, Yas. Aku bahkan malu datang ke sini dan nemuin kamu."

Bukan waktu yang tepat membahas krisis kepercayaan diri lelaki itu saat ini. Tetapi Yasna tahu betul maksudnya. Lelaki itu selalu minder bersanding dengannya yang termasuk kalangan 'ada', sementara Akylo sendiri lahir di tengah keluarga yang sederhana.

"Rencananya kapan kamu ke Wonosobo?"

"Nanti malam, mungkin. Aku harus prepare dulu."

"Sori gak bisa nemenin. Kamu tahu kalau malam minggu keluargaku selalu ada acara dinner," putus Yasna. Akylo tahu, jiwa perempuan itu bersikeras ingin ikut. Mengetahui Hal itu bibirnya tersenyum hangat. Perempuan di hadapannya selalu mampu menghangatkan sudut hatinya yang gigil.

"Nggak apa-apa. Aku bisa sendiri," jawabnya. "Thank you. Thank you for everything, Sweetheart!"

Bibir Yasna terangkat, membentuk sebuah lengkung pelangi dengan kedua sisi pipi yang merona merah. Matanya menunduk, memamerkan bulu mata panjang dan lentik kepada Akylo yang tidak memilikinya. Demi apapun, Akylo menginginkan perempuan di hadapannya ini.

"Kamu tambah cantik kalau malu-malu, Yas."

"Berhenti menggodaku, Ankylosaurus!"

Akylo tertawa pelan. Panggilan itu. Panggilan yang khusus diberikan Yasna pada Akylo setelah mengetahui jika kekasihnya begitu menyukai dinosaurus. Yasna selalu berasumsi jika Akylo memang diciptakan satu paket dengan hewan purba. Nama mereka mirip, lengkap dengan bakat lelaki itu meniru suaranya.

"Aku janji akan menikahimu secepatnya, Yas."

"Kau tahu, aku selalu menunggu hari itu tiba, Akil."

Akylo mengangguk. "Jangan lupa berdo'a untuk kebaikanku, Yas. Semoga secepatnya aku mendapat pekerjaan dan direstui keluargamu."

"Pasti. Jangan lupa berdo'a untuk kebaikanku, juga kebaikan kita berdua."

"Tentu," jawabnya sambil tersenyum tulus. "Kalau gitu, aku pamit ya, Yas. Nanti malam kutelepon. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah."

*

HOLA! AKHIRNYA UPDATE JUGAAAAAA~

Awalnya mau up kemarin, tapi ternyata kuotaku abis😂

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang