22

1.2K 191 34
                                    

Surya membanting setir mobil ke arah kiri, menyusuri lorong tanaman sebelum menyaksikan halaman rumahnya yang berupa danau. Dua angsa putih baru saja menjejak daratan selepas berenang. Usai memarkir mobil secara asal, dia disambut Pak Parman yang tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Saya belum menyentuh apa-apa kecuali panci yang tergeletak di lantai," lapornya setengah ketakutan. Langkahnya berayun menuju dapur, diikuti Surya di belakang. Begitu melalui ruangan-ruangannya, Surya merekonsiliasi keadaan. Semuanya masih sama seperti yang terakhir diingatnya. Kecuali dapur, tentu saja. "Saya menduga ada orang yang menyusup masuk ke sini hanya untuk menuliskannya."

Perhatian Surya beralih pada dinding yang menghitam. WRV. Sandi itu terlalu kentara karena menggunakan warna merah, dan jauh lebih menusuk ketika Surya melihatnya secara langsung. Sebelumnya Pak Parman sempat mengirimkannya melalui WhatsApp. Pesan yang menjungkirbalikkan perasaannya dan melampiaskan kemarahan tidak pada tempatnya; kepada Yasna, di ruang tunggu rumah sakit pula.

Pesan itu pula yang mendasari Surya untuk mengantar Yasna ke Solo dan membiarkan isterinya tidak menyaksikan kekacauan di sini. Setidaknya itu cara paling mudah yang bisa dilakukannya.

"Mas tahu maksudnya?" Surya mengangguk. "Ini bukan inisial pengacaunya, kan?"

"Bukan," jawabnya singkat.

"Mas tidak ingin lapor polisi?"

Surya menggeleng, "Tolong panggil kuli saja, Pak. Saya ingin merenovasinya."

"Mas, maaf kalau saya lancang. Saya rasa ini tindak kejahatan yang patut dilaporkan ke polisi," sanggah Pak Parman. "Kebakaran ini murni di sengaja."

"Kenapa Pak Parman berpikir seperti itu?"

"Saat kebakaran, saya sedang memangkas rumput di halaman belakang bersama Hicko. Begitu kepulan asap itu mulai tercium keluar, Hicko menggonggong dan berlari ke rumah. Saya ikut masuk dan saya lihat api sudah melahap kitchen set di atas kompor, segera saya matikan kompor dan padamkan apinya," tutur Pak Parman. "Saya langsung fokus pada Bibi Nia yang tergeletak di lantai. Luka lepuh itu didapatnya dari air mendidih, bukan dari api. Sepertinya Bibi Nia baru saja mengangkat panci berisi air panas untuk mengisi termos seperti biasanya. Bisa saja seseorang sudah memukul Bibi Nia.

"Ada tiga hal yang membuat saya yakin bahwa ini bukan kecelakaan. Pertama, saya baru menyadari Hicko tampak resah di depan lorong tanaman dan terus menggonggong ke arah luar. Lalu keberadaan lap tangan yang menjuntai di sini," lelaki paruh baya itu menunjuk helai kain yang menghitam. "Lap tangan ini tidak biasanya berada di bufet. Seseorang sengaja menaruhnya di sana agar api cepat menyambar ke atas. Dan yang terakhir, kemunculan pesan ini di dinding setelah saya kembali pulang dari rumah sakit."

Surya mengangguk, meski tak urung konsisten menjawab, "Tolong panggilkan kuli saja, Pak. Saya ingin renovasi selesai dalam seminggu."

Pak Parman ingin menyangkal, dia sudah membuka mulut dan membiarkan udara masuk lebih banyak dari sana. Tetapi Surya segera menambahkan, "Saya berusaha melakukan yang terbaik. Untuk kita semua."

Usai mengatakan itu, Surya memilih menyendiri di lantai atas; balkon menjadi tujuan utamanya. Sembari menatap halaman rumah, dia menyulut sebatang rokok. Sebenarnya Surya sudah lama berhenti melakukan itu. Hanya saja kejadian yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya sedikit-banyak merasa tertekan. Rokok hanyalah sebagai pelarian.

Ponselnya berbunyi, nama isterinya terpampang sebagai ID caller. Tanpa berpikir panjang, dia mengangkatnya dan mengucapkan salam. "Ada apa?"

"Emm... aku mengganggu, ya?" tanyanya ragu.

Surya menghembuskan napas pelan, "Tidak, bukan seperti itu maksud saya."

"Aku baru saja masak capcay dan tiba-tiba teringat sama Mas. Mas sudah makan?"

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang