42

452 69 14
                                    

Berbeda dari hari sebelumnya, pagi ini Surya mendadak ada urusan di kantor—yang mau tidak mau harus meninggalkan Yasna di rumah. Sebelum berangkat tadi, Surya sebenarnya agak sedikit berat meninggalkan rumah. Dia tidak cukup tega meninggalkan Yasna berdua saja dengan Bibi Nia, terutama sejak semalam dia merasa Yasna tidak seperti biasanya. Namun pekerjaannya mendesak dan tidak bisa diwakili oleh Lukas.

Yasna pun sebenarnya bukan tidak merasakan perbedaan itu. Menjelang subuh tadi, dia kerap terbangun untuk mengganti celana dalamnya yang terasa basah. Memang, sejak perutnya sudah mulai membesar, dia kerap bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil. Namun kali ini terasa berbeda dari biasanya.

Perempuan itu baru saja duduk di atas sofa saat tiba-tiba saja Naufal muncul dengan raut yang berbeda dari terakhir kali dia datang ke kediaman itu. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis ke arah Yasna.

"Tumben pagi-pagi udah ke sini," seloroh Yasna.

"Adek udah sarapan? Kakak bawa pancake, loh. Kita makan, yuk!"

"Wah, enak tuh. Tapi aku baru aja abis makan bareng Mas Surya sebelum berangkat tadi."

"Yah, padahal Kakak udah bawain yang rasa cokelat ini," katanya membujuk.

Namun Yasna justru bangkit, "Sebentar aku tinggal ke toilet dulu ya, Kak."

Yasna kembali merasakan celananya basah dan segera menggantinya dengan celana dalam baru. Tetapi kali ini ada cairan lain yang ditemukannya selain rembesan air. Dia juga baru menyadari jika sejak semalam, pinggulnya terasa sedikit lebih tertekan dari biasanya. Perasaannya berubah tidak enak. Segera setelah urusannya di toilet selesai, ia memanggil Bibi Nia dan menjelaskan keadaannya.

Meski berusaha menutupi raut terkejutnya, Bibi Nia hanya menjawab, "Non sebaiknya segera ke rumah sakit."

Perempuan paruh baya itu kemudian meminta Naufal untuk bersiap ke rumah sakit sementara dia naik ke lantai atas dan menyiapkan barang-barang yang sekiranya diperlukan.

"Kenapa?" tanyanya Naufal. Dia tidak pernah menghadapi perempuan hamil sebelumnya.

"Cepat, Mas. Sepertinya Non Nana sudah pecah ketuban."

"Apa?!"

Meski diucapkan dengan nada setenang mungkin, namun jawaban Bibi Nia memantik keterkejutan dan kepanikan dalam diri Naufal. Dia segera menyambar kunci mobil yang belum lama diletakkan bersama pancake di atas meja.

Sedangkan Yasna, yang sedang berjalan dibantu oleh Bibi Nia, entah mengapa tiba-tiba merasa sedih. Di satu sisi, dia mengelak jika apa yang dikatakan Bibi Nia mungkin salah. Usia kehamilannya baru akan memasuki bulan ke-8. Namun jauh di dalam dirinya justru merasa bersalah. Dia seharusnya lebih aware dengan keadaannya sendiri.

Rasa bersalah itu semakin menggerogotinya setelah dia tiba di rumah sakit dan dokter menyarankan untuk segera diambil tindakan; caesar.

***

Surya dan Mario sudah ada di rumah sakit sebelum Yasna dan yang lain tiba di sana. Mario masih sangsi menatap Surya setelah melalui perjalanan paling mengerikan bersama atasannya itu. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana mereka berdua bisa selamat setelah mengendarai mobil bak orang kesetanan. Raut wajah Surya yang sedari tadi tegang dan panik, berangsur-angsur berubah setelah melihat Yasna. Setelah menyaksikan langsung bagaimana Surya mengendarai mobil tadi, Mario yakin jika saat ini jantung lelaki itu masih jumpalitan. Hanya saja, dia tidak ingin menunjukkan dan menularkan kecemasannya pada Yasna, terutama saat mereka tahu kalau bayi dalam kandungan Yasna harus segera dilahirkan.

"Pak Surya, meski tidak semua kehamilan kembar harus dilahirkan dalam kondisi prematur, namun 60 persen bayi kembar memang lahir dengan kondisi demikian."

Mereka lantas menepi ke sudut lain. Seluruh kecemasan Surya sangat terasa oleh dokter Heri, terutama saat dia bertanya, "Apakah semuanya akan baik-baik saja? Maksud saya, kandungannya bahkan belum genap 8 bulan."

Namun ketika dokter Heri penjelasan rinci bahwa tindakan caesar ini dilakukan untuk menghindari infeksi paru-paru pada janin, Surya mantap menyetujuinya dan segera melengkapi urusan administrasi. Sebagai manusia, Surya hanya mampu mengupayakan sejauh ini. Sisanya dia serahkan pada Sang Pemilik Kehidupan.

Surya kembali mendekati Yasna, dia menyunggingkan seulas senyum tipis.

"Kita akan bertemu dengan anak-anak lebih cepat dari yang kita duga," ucap Surya seraya mengelus perut Yasna.

"Tapi kandunganku..."

"It's ok. Dokter tidak mungkin menyarankan sesuatu tanpa pertimbangan. Saya juga sudah menyetujuinya," jawab Surya berusaha menenangkan. "Saya yakin kalian akan baik-baik saja."

Ucapan itu menjadi kalimat pamungkas yang dikatakan Surya sebelum menghadapi keadaan paling menegangkan sepanjang hidupnya. Dia tidak berhenti mondar-mandir di depan ruang operasi, sesekali bolak-balik kamar mandi. Siapapun yang ada di sana tidak bisa membagi ketenangan sebab merasakan resah yang sama. Mario melihat, Surya bisa bertindak menjadi penenang yang baik untuk Yasna namun gagal untuk menenangkan dirinya sendiri.

Keresahan Surya bisa sedikit mereda setelah melihat perawat keluar membawa bayi kembarnya dari ruangan itu. Mereka akan dipindahkan ke ruang NICU untuk menjalani perawatan intensif. Hingga tak lama kemudian Surya melihat Yasna keluar dari sana. Bertepatan dengan munculnya keluarga Irvan. Seolah mengerti keresahan Surya, mereka tidak bertanya banyak hal dan ikut menemani Yasna selama menjalani perawatan di rumah sakit.

Surya harus menekan seluruh rasa was-wasnya, saat mendengar bahwa kedua anaknya—laki-laki dan perempuan—lahir dengan berat badan tidak lebih dari 2000gr. Bahkan yang perempuan hanya berbobot 1800gr. Oleh karenanya, kemungkinan mereka berdua masih harus menginap di NICU selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan ke depan. Dia dan keluarga diperbolehkan menemui kedua anaknya hanya pada jam besuk; tentu dengan beberapa peraturan ketat lainnya.

Meski demikian, dia masih merasa bersyukur lantaran baik kedua anak dan istrinya bisa melalui operasi dengan lancar.

"Terima kasih ya, Na," hanya itu yang bisa dia bisikkan kepada Yasna, sesering yang dia bisa.

TBC

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang