26

1.1K 197 25
                                    

Yasna sedikit terlonjak begitu merasakan sebuah tangan merayap di pinggangnya. Perempuan itu bahkan melepaskan spatula yang dipegangnya. Namun bernapas lega begitu mendapati hal tersebut adalah ulah suaminya. Surya begitu cuek membawa tubuhnya lebih rapat dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain menopang tubuh di dinding.

"Mas," protesnya. Pergerakan Yasna menjadi terbatas karenanya. Tetapi dia juga tak dapat menampik rona merah yang perlahan muncul di kedua pipinya, senang karena Surya bisa bersikap romantis dan berinisiatif menyentuhnya.

Tetapi sedetik kemudian Surya membebaskannya, "Nana kenapa gak pakai kerudung?"

"Aku gak sempat pakai hair dryer, habis mandi langsung masak ini. Lagipula Mario gak ada di rumah."

"Mario baru pulang. Kalau barusan nggak saya tutupi, dia bisa lihat Nana tanpa hijab."

Seketika bibirnya mencebik, "Jadi yang barusan itu bukan karena Mas lagi romantis kayak di film-film, ya?" Surya hanya mengangkat alisnya, membuat Yasna kembali melayangkan protes, "Tahu, ah! Bicara sama Mas suka bikin gondok."

Meski terlihat enggan meladeni, Surya tetap menjawab sambil lalu, "Kalau mau romantis, nanti saja di dalam kamar."

Mendengar ucapan Surya, pipi perempuan itu kembali memerah malu, bahkan warnanya jauh lebih masak dari saus yang baru dituangnya ke dalam wajan. Hanya saja, ketika sudah berada di dalam kamar, perempuan itu justru sangat jauh dari kata malu.

"Kakinya jangan di paha, Na."

Surya berkomentar meski tidak segera memindahkan sebelah kaki istrinya dari atas paha. Sementara Yasna pun terlihat enggan bergerak, ia justru mengeratkan pelukannya. Agaknya Yasna memang senang membuat jantung Surya berdetak tak karuan. Rasanya tak pernah Surya dibuat tenang walau sejenak. Sekarang saja bukti konkretnya; perempuan itu merebahkan kepala di atas dadanya. Dengan posisi agak menyamping itu dia leluasa melingkarkan tangan di pinggang dan kaki membelit pahanya.

"Aku gak bisa gerak, Mas. Udah PW."

Kalau sudah seperti ini, mana bisa Surya menolak sekalipun tubuhnya mulai kebas. Wajar saja, sejak selepas Isya---yang artinya sudah terhitung tiga puluh menit, mereka berbaring di atas ranjang dan posisi Yasna terus-menerus menempel padanya seperti itu. Surya bahkan tak terlalu fokus menonton film yang mereka pilih secara acak; dimana filmnya berkisah tentang pasangan muda yang sangat ingin memiliki anak.

Yasna tiba-tiba bertanya, "Mas ingin punya anak berapa?"

Surya agak terkejut mendengarnya. "Dua."

"Patuh sama program keluarga berencana, ya?" tanyanya sambil diiringi cengiran, tetapi Surya hanya diam. "Mas gak mau punya kesebelasan?"

Surya menggeleng, "Kalau mau, nanti tinggal masukkan anak kita ke klub sepak bola."

Yasna mencebik, namun bibirnya tetap menggumam, "Kupikir, kalau punya banyak anak akan membuat lelaki lebih bahagia."

"Nana mau punya sebelas anak?"

Perempuan itu menggeleng, "Aku cuma gak mau kalau Mas sampai punya anak dari perempuan lain."

Surya menipiskan bibir dan menghirup udara sebelum menjawab, "Hei, time flies. Setiap orang pernah berbuat salah, dan kesalahan itu belum tentu terulang."

"Mas suka anak-anak," ucapnya, berusaha mengalihkan topik dari luka masa lalu. "Mas mau lelaki atau perempuan?"

"Perempuan. Salah satunya harus perempuan, Na."

Yasna mendongak hanya untuk menyaksikan raut wajah Surya. Dinilai dari nada bicaranya, ada satu keharusan dan keinginan kuat dalam diri lelaki itu. Tetapi ketika menyaksikan raut wajahnya, Yasna justru mendapati sorot kosong dan hampa yang baru kali ini disaksikannya.

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang