"Mas," panggil Yasna ketika Surya baru keluar dari kamar mandi. Lelaki itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil. "Mas sama Kak Opal kok kelihatannya kayak ketus gitu?"
"Saya biasa aja, kok."
Lelaki itu duduk di kursi dan mengambil hair dryer, lalu lanjut mengeringkan rambutnya sendiri. Sebenarnya, rambut Surya tergolong tipis sehingga mudah kering walau hanya menggunakan handuk, tapi malam ini dia sudah sangat merasa lelah dan ingin segera merebahkan diri. Sebisa mungkin, dia harus segera menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan agar bisa sepenuhnya menemani persalinan Yasna.
Akan tetapi, ketika pemikiran lelaki itu berkutat dengan hal-hal yang krusial, Yasna justru mengartikan diamnya sebagai isyarat lain.
"Tuh, Mas kayak gak mau bahas Kak Opal."
Surya melirik Yasna lewat cermin. Perempuan itu memang tengah bersandar di kepala ranjang, dengan buku kehamilan berada di pangkuannya. "Bukan gak mau, Na. Memang gak ada yang perlu dibahas lagi."
"Ada. Kalian masih belum baikan. Mas masih kesal sama Kak Opal?"
Kali ini Surya mengerjapkan mata, merasa heran dengan pertanyaan istrinya. Jika perlu dipetakan, yang seharusnya mendapat pertanyaan itu adalah Naufal. Bagaimana tidak, sepanjang sesi makan yang terasa sangat awkward tadi, Naufal adalah orang yang sangat tidak menikmatinya. Terbukti dari raut lelaki itu. Sementara sudah tabiat Surya jika irit bicara dan kadang meladeni pertanyaan orang hanya dengan isyarat atau gelengan kepala. Namun tidak berarti dia ketus kepada lawan bicaranya, bukan?
"Mas masih belum maafin Kak Opal?"
Surya mematikan hair dryer dan memutar tubuhnya menghadap perempuan itu, "Sudah. Saya bukan tipe orang yang sanggup bawa kebencian atau dendam kemana-mana."
"Tapi kenapa Mas kayak gitu ke Kak Opal?"
"Kayak gitu gimana?" tanya Surya heran. Dia berjalan mendekati ranjang dan bergabung dengan Yasna di sana.
"Ya gitu. Jutek, ketus. Sampai Kak Opal langsung pamit pulang waktu kita baru tiba di rumah," jawab Yasna. Naufal memang langsung pamit dan Surya meminta Mario mengantarkannya ke kediaman Ayah. Namun lelaki itu bersikeras menolak, memesan taksi online, dan pulang. Diantara Naufal dan Surya, tak banyak terlibat percakapan apapun. Padahal mulanya mereka adalah teman yang akrab---walau sejak dulu pun Surya tak banyak berkata-kata. Tetapi kini terasa sangat asing dan berjarak.
"Kalau dibilang saya kurang suka sikap Naufal, itu memang benar. Tapi saya merasa sikap dan nada bicara saya tadi biasa saja."
"Nah, katanya Mas gak benci dan gak dendam sama Kak Opal."
"Memang," sahut Surya. Yasna tampak ingin menyuarakan pemikirannya, namun Surya cepat-cepat menambahkan, "Saya kurang suka sama Naufal karena dia masih sayang sama Nana disaat dia sudah punya istri dan juga anak."
"Kak Opal kan sudah berbaikan sama Ava. Mereka kelihatan bahagia waktu kita syukuran kemarin," sanggah Yasna.
"Kita kan gak tahu apa-apa soal hubungan mereka yang sebenarnya," sahut Surya. "Berhubung Nana menyinggung syukuran kemarin, sejak kemunculan Naufal saat itu, coba Nana ingat-ingat apa saya pernah jutek atau ketus sama Naufal?"
Yasna menggeleng pelan. Surya langsung memutuskan, "End of discussion."
Surya lalu merebahkan tubuhnya di sisi perempuan itu, membenarkan posisinya menjadi telungkup walau wajahnya tetap menghadap Yasna. Tangan kanannya merambat pada perut besar istrinya, mengelusnya di sana. Yasna memerhatikan itu sampai Surya benar-benar terlelap, menghapuskan seluruh raut lelah dan mengubahnya menjadi sorot damai. Yasna baru menyadari jika sedari tadi Surya tampak lelah dan mengantuk. Dengan gerakan pelan, Yasna ikut rebah di sisi Surya.
Diam-diam dia berbisik, "Maafin aku ya, Mas."
***
Sejak saat itu, pembahasan mengenai Naufal tak pernah muncul lagi di antara mereka. Yasna tak pernah lagi mengungkitnya walau dalam beberapa minggu ini Naufal kerap datang dan bertamu saat Surya sedang ada di rumah. Jika diperhatikan, bukan Surya yang menjaga jarak. Seperti hari ini, misalnya.
Surya kebetulan baru selesai memasak dua porsi baso aci ketika Naufal datang. Dia rela menunda menyantapnya hanya untuk memasak seporsi lagi untuk Naufal. Yasna berniat menggantikan Surya di dapur sebab tahu jika Surya sudah sangat lapar. Namun lelaki itu menolak.
"Kemarin katanya adek kepingin pokcoy," ucap Naufal. "Kakak ke sini bawain pokcoy. Sebentar Kakak ambil dulu di motor."
Raut Yasna berubah sumringah saat melihat sekeranjang sayur hijau itu. Lantas Yasna membawanya menuju dapur.
"Mas, aku kepingin deh baso acinya pakai pokcoy sama jamur enoki. Biar kayak di mukbang itu," ucap Yasna sembari mencuci pokcoy di wastafel. "Tapi biar aku aja yang masak. Mas udah capek dari tadi."
"Memangnya bakal enak kalau pakai kuah baso aci?" Yasna menggeleng tanda tak tahu. "Udah, Nana duduk aja temani Naufal. Saya buatkan enokinya jadi ala-ala mukbang."
Kalau sudah begitu, Yasna menurut saja. Namun ternyata Surya tidak hanya membuat menu yang diinginkan Yasna. Dia juga membuat jamur enoki crispy dan pangsit goreng. Juga minuman es lumut. Mendadak meja di ruang keluarga itu berubah selayaknya meja makan dengan menu menggiurkan.
"Enak?" tanya Surya ketika mereka menyantap baso aci buatannya. Sebenarnya, pertanyaan itu ditujukan untuk Naufal juga. Meskipun hanya Yasna yang menyahut.
"Walau sudah agak dingin, tapi masih enak," sahut Yasna. "Kak Opal suka gak?"
Naufal hanya berdehem. Namun responnya yang demikian tak menghalangi mulut ceriwis Yasna untuk bercerita tentang skill suaminya di dapur, yang jika mengutip pernyataan perempuan itu; amat-sangat luar biasa. Surya nyaris bisa memasak seluruh masakan Nusantara, tapi tidak begitu mahir membuat makanan western atau pastry.
"Mas, mau cuanki-nya gak?" Dia bertanya sambil melirik Surya di sebelah.
"Boleh," jawab Surya. Perempuan itu lantas memindahkan cuanki lidah dari mangkuknya ke mangkuk Surya. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali," sahut Yasna. Sejurus kemudian, perempuan itu hendak bangkit.
Namun Surya lebih dulu bertanya, "Mau kemana, Na?"
"Ambil minum, Mas."
"Biar saya aja," ucap lelaki itu mendahului Yasna pergi ke dapur.
Tanpa sadar perempuan itu bergumam, "Lihat, betapa beruntungnya Adek menikah dengan Mas Surya, Kak. Kalau bukan sama dia, Adek belum tentu akan sebahagia ini."
Naufal tersenyum kecut. Dia mencomot enoki crispy dan memakannya dalam satu suapan. Setelah itu dia beranjak ke dapur, berpapasan dengan Surya yang kembali menuju ruang keluarga.
"Nggak nambah, Pal?" tanya Surya, tapi Naufal tak merespon. Dia sibuk mencuci bekas makannya, atau pura-pura sibuk.
Begitu Surya kembali, ternyata Yasna tengah menerima sambungan telepon. Perempuan itu dadah-dadah ke arah kamera.
"Lucu banget sih."
Begitu Surya duduk di sebelahnya, Yasna mengarahkan layar menghadap lelaki itu. Binar mata Surya berubah saat bersitatap dengan wajah gembil Naina.
"Naina kok belum tidur?" tanya Surya. Bayi itu lantas menampilkan senyumnya yang menggemaskan, lalu menggapai-gapai layar ponsel seakan ingin menangkap wajah Surya. "Apa? Kangen ya sama Uncle?"
Sontak terdengar kekehan Ava dan juga Yasna. Respon Naina tersebut lalu membuat Yasna menoleh kepada Naufal yang masih berada di dapur, "Naina, kangen sama Daddy, gak? Daddy kebetulan lagi di sini."
Seketika Ava terdiam, terutama ketika suara Naufal terdengar untuk langsung pamit dengan dalih 'ada klien'.
"Ini Naina gak disapa dulu?" tanya Yasna. Lelaki itu hanya say hi dan berjanji akan lanjut menelepon Naina nanti. Meskipun merasa heran, Yasna tidak berkomentar apa-apa.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
General FictionSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi