Sudah pukul sepuluh malam begitu Yasna meliriknya. Waktu dua puluh empat jam seakan tidak cukup karena terasa cepat beranjak. Rencananya, Yasna akan kembali ke Yogya esok hari. Dia sudah mengabari Surya begitu selesai berbincang dengan Siti kemarin malam. Centang dua, namun tak kunjung di baca. Tak apa, yang penting Yasna sudah mengabarinya.
"Yas, sori, lo udah memikirkan perjanjian itu matang-matang?"
Salsa ikut duduk di sebelahnya setelah membuka apron. Perempuan itu membuka ikat rambutnya sehingga tergerai panjang. Begitu mematikan lampu di ruangan cafe dan membalik papan di pintu menjadi closed, mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan obrolan yang tertunda di meja barista sembari menikmati minuman masing-masing. Iced coffee latte untuk Salsa dan segelas cokelat hangat untuk Yasna. Keremangan cahaya tidak menutup raut ragu Yasna.
"Mungkin, iya."
"Lo kelihatan ragu," jawab Salsa. Yasna mengendikkan bahu. "Dan Surya setuju?"
"Dia nggak bilang setuju atau engga," jawabnya lagi. "Tapi Mas Surya langsung pindah kamar dan terlihat baik-baik saja walau aku merasa dia marah ketika mendengarnya."
"Bokap-nyokap lo tahu soal hal ini?"
Yasna tentu menggeleng, "Kamu merasa aku keterlaluan gak sih, Sa?"
"Kupikir, iya. Bukan untuk sekarang, tapi dalam jangka panjang," jawab Salsa. "Sebelum mengajukan perjanjian itu, lo mikir gak kalau suatu saat Surya bakal memutuskan mencari sesuatu dari perempuan lain yang nggak bisa dia dapatkan dari lo?"
"Selingkuh, maksudnya?"
"Kalau dibiarin gini terus, bisa jadi. Sekalipun lo memasukkan itu dalam perjanjian, Surya nggak bilang setuju, kan? Apalagi pernikahan kalian masih siri, Surya bisa ninggalin lo kapan aja," jawab Salsa. "Gue bukan nakut-nakutin, Yas. Tapi, cobalah berpikir realistis. Surya juga laki-laki biasa, nggak mungkin dia terus-terusan betah dan sabar."
Hening memerangkap keduanya. Usai menumpahkan argumennya, Salsa justru merasa bersalah.
"Sorry, bukan maksud gue lancang atau gimana. Gue sayang banget sama lo, Yas," ungkap Salsa. "Sama halnya ketika lo nasehatin gue buat bertahan sama Satria."
"It's okay, Sa. Nggak perlu merasa bersalah. Thanks kamu udah perhatian," jawabnya. Ponsel Yasna bergetar dan memunculkan nama Mas Surya di layarnya. Mereka memutuskan untuk pulang saat itu juga, Yasna bisa menerimanya sambil menyetir sementara Salsa pulang dengan motornya.
"Maaf pesannya baru saya baca," ucap Surya usai mengucapkan salam.
"Iya. Nggak apa-apa, Mas." Yasna hanya mampu mengucapkan itu sebagai tanggapan.
"Besok mau dijemput siapa?"
"Ngga perlu, Mas." Yasna menginjak rem tiba-tiba dan membunyikan klakson. Pengendara motor di depannya asal saja memasuki jalan tanpa tengok kanan-kiri. Setelah menarik napas panjang dia melanjutkan, "Papa sama Bunda yang antar. Mereka mau tahu rumah Mas dan kenal sama keluarga Mas juga. Mas gak keberatan kalau mereka menginap?"
"Tentu saja. Mereka orang tua saya juga."
"Mas..." maaf.
"Hmm?" sahut Surya. "Nana lagi nyetir?"
"Iya. Ini baru pulang—"
"Saya telpon lagi nanti," jawab Surya sebelum mengucap salam dan memutus sambungan telepon. Yasna hanya mampu menatap ponselnya tak percaya.
***
Shubuh itu, Irvan memilih jazz-nya untuk dikendarai. Irvan sendiri yang menyetir. Siti duduk di sebelahnya sementara Yasna di bagian belakang bersama barang-barang. Barang yang dibawanya kali ini cukup banyak; bahkan perempuan itu membawa serta macbook-nya. Irvan dan Siti sendiri masing-masing mengambil satu koper berukuran sedang, bukan untuk menginap di rumah menantunya. Melainkan untuk kebutuhan liburan mereka di Yogya, atau daerah-daerah di sekitarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Fiksi UmumSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi