7

1.1K 164 19
                                    

Yasna tersenyum memandangi cinderamata yang baru saja tiba di kediaman Irvan. Polymer clay berbentuk donat, cupcake, dan es krim menjadi pilihannya. Tentu saja pilihan Yasna. Sebab Akylo menyerahkan seluruh keputusan pernikahan itu kepada perempuan itu. Asal kamu bahagia, katanya. Namun di mata keluarga Yasna, hal itu terkesan berbanding terbalik. Lelaki itu tidak begitu antusias, seperti biasanya.

"Adek, ini udah jam sepuluh tapi tim dekorasi belum ada."

"Oh, iya Bunda. Tadi mereka bilang udah berangkat kok."

Siti mengangguk, "Akil sama sekali ngga menghubungi?"

"Kemarin Akil telepon, dia ngga akan kasih kabar sampai hari H," jawabnya, lalu kedua pipi itu merona, "Biar kangennya numpuk, katanya."

Siti mengangguk paham, "Bunda ke belakang dulu, mau cek bahan di dapur."

Giliran Yasna yang menanggapinya dengan anggukan. Sebelum benar-benar beranjak, Siti melirik anak perempuan itu sekilas. Berjalan melewati lorong sebelum menemukan ruang makan yang merangkap dapur. Ia mendial nomor Irvan di sana. Panggilan pertama itu berakhir sia-sia. Siti kembali mencoba menghubungi Irvan, beruntung di dering kedua lelaki itu menerima panggilannya.

"Siti..." panggilnya lembut namun penuh peringatan. "Mas jadi ketahuan Abang."

"Oh," hanya itu yang keluar sebagai respon pertamanya. "Maaf."

"Ngga apa-apa," jawabnya. "Ada info tentang Akil?"

Siti menggeleng meskipun Irvan tak akan bisa melihatnya, "Belum. Sesekali Bu Ratna telepon buat tanya perkembangan pernikahan. Mas gimana sudah dapat validasi?"

"Belum, Mas selalu lihat Abang. Jadi pergerakan Mas juga terhambat. Ini Abang udah duduk di samping Mas, mungkin kami bakal ngobrol sebentar."

"Ya sudah, teleponnya mau ditutup?"

"Ngga perlu, Pa. Bunda juga berhak tahu kok," samar terdengar suara Akbar. Lalu berubah jelas, mungkin Irvan mengaktifkan fitur loudspeaker. Akbar menyanggah, "Abang kira Papa sama Bunda ngga ada di pihak Abang."

"Papa sama Bunda ngga ada di pihak siapapun. Sementara ini kami netral, dan tentu menginginkan yang terbaik untuk Adek sama Abang."

"Menurut Abang, Bunda tahan lihat kalian berantem gini?"

"Maafin Abang ya, Pa, Bun. Abang benar-benar ngga rela kalau Adek jadi nikah sama Akylo."

"Apa teman kantor Abang bisa dipercaya?"

"Bun, Arif itu teman kuliahnya Akylo. Arif beberapa kali pernah lihat lelaki itu jalan sama perempuan lain, sayangnya waktu itu Arif kira Akylo udah putus sama Adek. Begitu lihat story Abang kalau Akylo sama Adek tunangan, Arif baru cerita."

Irvan berdehem pelan, "Oke, oke. Begini, Bang, beberapa hari terakhir Papa juga hendak memantau aktivitas Akylo, tapi Papa urungkan karena selalu lihat Abang. Apa selama ini Abang udah punya bukti?"

Mendadak Akbar berubah lesu, "Belum. Laki-laki itu beraktivitas seperti biasa. Ngga ada yang aneh kecuali..."

"Kecuali?" tanya Irvan.

"Kecuali dua minggu lalu dia pernah berkelahi dengan tetangganya karena hutang."

"Abang..." Siti memanggil. Baik Irvan maupun Akbar sama-sama mengerti kelanjutannya.

"Abang tahu, Bunda. Kurang dari 24 jam lagi menuju pernikahan mereka dan Abang gagal membuktikan ucapan Arif. Tapi Abang ngga akan menyerah, pasti ada kebusukan yang disembunyikan laki-laki itu dibalik wajahnya yang alim."

"Abang," panggilan penuh peringatan itu dilakukan Irvan. "Abang boleh yakin perkataan Arif benar adanya. Tapi untuk percaya, setiap orang memerlukan bukti. Papa ngga mau kamu sampai memendam praduga ini berlarut-larut."

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang