3

1.7K 213 15
                                    

Pukul delapan. Gumaman Naufal hanya sampai di tenggorokan begitu menepikan mobil di depan sebuah rumah dengan arsitektur tempo dulu. Lampu kuning temaram membuat ubinnya sekilas tampak berwarna orange. Dua jendelanya yang dilapisi gorden warna krem tampak lebih menyala. Pasti lampu di dalam rumah jauh lebih terang daripada lampu luar.

"Benar ini rumah Akil, Dek?"

"Seharusnya begitu," jawabnya sembari membuka seat belt. Gerakannya terhenti di udara begitu ponselnya berdering. Nama yang dinantikannya sejak beberapa hari lalu terpampang di sana. "Kemana aja, Kil?"

"Salam dulu, Yas. Assalamu'alaikum," samar, Naufal mampu mendengar jawaban itu disusul jawaban salam dari adiknya. "Maaf baru sempat telpon kamu. Aku bisa ketemu kamu sekarang? Aku mau ngomongin percakapan bareng Om Irvan tadi sore... soal hubungan kita."

"Kamu bercanda, Kil? Papa sama Bunda baru bisa pulang hari ini dari Salatiga, lho. Mereka bahkan gak bisa antar aku, kok bisa ketemu dan ngobrol sama kamu?" selidiknya. "Tapi kalau mau ketemu, aku udah ada di depan sama Kak Opal."

"Yas, jangan bercanda! Di depan kost-ku gak ada siapa-siapa."

"Kost?" ia membeo.

"Iya, aku di kost-an, Yas."

"Kamu... nggak di Wonosobo?" mustahil lelaki di seberang sana tak menyadari getaran yang berusaha diredam Yasna. Untuk sesaat, tak ada suara apapun selain deru mesin mobil yang belum dimatikan.

"Yas, kamu lagi di Wonosobo?" namun Yasna memilih bungkam. Heningnya bekerja cepat menyadarkan Akylo. "Salahku memang, aku nggak kasih kabar. Aku ketinggalan kereta malam itu dan memutuskan berangkat besok pagi. Namun Kanaya lebih dulu mengabariku kalau Ibu udah bisa pulang sehingga aku gak perlu ke Wonosobo. Semuanya bisa diatasi Kanaya. Lalu di hari yang sama pula, alhamdulillah aku diterima kerja di pabrik kaus kaki dekat kost. Ya sudah, aku benar-benar batal ke Wonosobo. Cuma perihal uangmu, kepotong buat beli tiket dan persiapan bekal di perjalanan.

"Karena kerja, aku gak sempat hubungi kamu. Tidurku selalu kurang. Aku jadi nggak punya waktu untuk sekadar telepon kamu..."

Naufal berdecih dalam hati. Sebagai lelaki, ia tahu betul jika Akylo tengah membual. Sebab bila ia berada di posisi tersebut, sesibuk dan secapek apapun, ia akan menyempatkan waktu untuk menghubungi yang terkasih.

"Kak, sebaiknya kita cari penginapan aja."

Naufal menoleh, cepat sekali mereka berbincang. Menilai dari gaya bicaranya, ia tahu perempuan itu gondok setengah mati. Sayangnya, ia terlalu larut dalam pemikirannya pribadi hingga tak mengetahui seperti apa akhir percakapan mereka berdua.

"Dek, menurut Kakak, ada baiknya kita masuk dulu. Biar bagaimanapun, niatmu jauh-jauh ke sini untuk menengok Bu Ratna, kan?"

Terdengar helaan napas, disusul anggukan gadis itu. Ia melempar senyum yang membuat seseorang di sebelahnya dilanda desir.

***

Hal pertama yang menyambut kedatangan mereka berdua adalah raut terkejut Bu Ratna. Wanita itu tampak seusia dengan ibunya. Dengan canggung, ia menyingkirkan tumpukan kain dari kursi lapuk agar Yasna dan Naufal bisa duduk. Sementara Kanaya yang jelita bergegas masuk dapur, menyibukkan diri menyiapkan apa saja yang ada di sana untuk dihidangkan.

"Ayo duduk, Nak. Maaf berantakan, jahitan lagi banyak dan Ibu lembur terus dari kemarin."

Senyumnya tersungging tipis, seakan meminta Yasna dan Naufal untuk mengerti dengan keadaan keluarga Akylo. Sejujurnya, Naufal tidak begitu mempersoalkan hal tersebut, tetapi yang mengusik perhatiannya ialah tumpukan kain yang belum dijahit, pakaian jadi yang tengah disetrika Kanaya sebelum perempuan itu berlalu ke dapur, juga kondisi Bu Ratna yang sama sekali jauh dari kata sakit. Disempurnakan dengan ucapan Bu Ratna yang menjelaskan kondisi beliau kemarin.

"Bisnis Nak Yasna sampai lewat Wonosobo juga ternyata. Mau bikin cabang, Nak?"

"Belum, Bu. Aku masih mau fokus sama yang di Solo, mungkin nanti baru buka cabang baru," jawabnya.

"Ibu kira kamu berniat buka cabang baru, dan kebetulan lewat sini."

"Nggak, Bu," jawab Yasna. Naufal tahu, Yasna tidak cukup peka ketika berkata, "Saya sengaja datang kemari kepingin lihat kondisi Ibu."

Naufal menyenggol lengannya pelan. Ia tahu betul adiknya masih memikirkan kebohongan Akylo. Cinta monyet memang bikin bodoh.

"Ibu baik-baik aja kok, Nak. Alhamdulillah meskipun pekerjaan numpuk, penyakit Ibu nggak kambuh," jawabnya. Kanaya muncul dari dapur, menyunggingkan senyum manis yang tidak menular pada diri Yasna. Ia tersenyum kecut. Akylo membohonginya, untuk apa?!

Kanaya menyuguhkan setoples kacang goreng bawang dan dua gelas teh manis yang asapnya masih mengepul. Suasana tak menentu itu hanya dipecahkan oleh percakapan dua arah yang tidak melibatkan dirinya. Ia tidak mengerti harus menempatkan diri di sela-sela mana.

"Ya sudah, kalian nginep di sini saja, ya?"

Yasna melirik Naufal yang baru mengeluarkan ponselnya. Tampak ia pura-pura sibuk, "Maaf, Tante, mungkin di kunjungan kami berikutnya. Kebetulan ini saya dapat whatsapp mendadak, ada teman yang pingin ketemu di Bromo."

Sungguh, Naufal tidak sempat memikirkan apakah jawaban tersebut logis atau tidak. Syukurlah Bu Ratna dan Kanaya mengizinkan meski berat. Kunjungan aneh itu diakhiri oleh lambaian tangan mereka yang penuh haru. Sementara Yasna dan Naufal menutupi sesuatu yang kaku.

"Hati-hati, Nak!"

Keduanya mengangguk. Begitu sampai di mobil, Naufal segera melaju. Diliriknya Yasna yang masih tampak diam, lalu meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana.

Kil, besok kalo aku pulang, temui aku di cafe. Dihapusnya lagi pesan tersebut dan diganti dengan permohonan serupa. Hingga Yasna tak lagi berniat mengirim pesan.

"Sudah sesering apa Akylo pinjam uang, Dek?"

"Aku nggak hitung."

"Apa dia tetap mengembalikan uang pin-" pertanyaan itu terputus oleh dering telepon dari ponselnya. Setelah jeda yang agak lama, Naufal mengangkatnya. Seketika, perasaan Naufal sama seperti Yasna. Menyesakkan.

***

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang