"Surya, aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Pak Marcel menyuarakan pikirannya. Mereka berdua tengah berdiskusi mengenai perusahaan dan jalan terbaik yang harus dilakukannya sebelum seseorang menggagalkan usahanya. Ruang kerja Surya disorot sinar senja, membuat pendarnya mewarnai berkas dan seluruh barang yang ada di ruangan tersebut. Usai meeting dengan Mr. Franz, Surya memutuskan menghela napas panjang karena telah menyelesaikan pekerjaan yang tertunda selama satu bulan ini.
"Setiap orang menyembunyikan sesuatu."
"Ya, ya. Saya tahu," jawab Pak Marcel. "Tapi ini tentang mendiang Kakek. Sampai saat ini saya meyakini, Kakek dan kamu punya rahasia besar. Rahasia yang membuat jantung Kakek kumat..."
"Pak Marcel," sela Surya. "Saya tidak ingin membeberkannya jika tidak terpaksa."
"Jadi, sampai kapan kamu mau bersabar? Bram sepertinya sudah tidak segan terhadap saya, kamu tidak bisa mengandalkan saya lagi. Dengan atau tanpa saya, posisimu sudah tidak aman lagi." Surya berdehem menanggapi. Dia paham betul, Pak Marcel tidak bisa diandalkan untuk terus melindunginya. Lelaki itu sudah cukup renta untuk membantunya melawan Bram atau Yohan, pun sudah kekurangan energi untuk membantunya mengurus perusahaan. "Kamu sudah membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik, Surya. Kamu juga sudah menikah dan memiliki perusahaan sendiri. Setidaknya ketiga syarat itu sudah memenuhi permintaan Kakek. Kamu bisa melepas perusahaan ini kepada Bram dan hidup tenang."
Surya menggeleng. Tiga permohonan Kakek Wira memang sudah terpenuhi, tetapi Surya ingin mewujudkan satu pesan penting dari mendiang, "Pak Marcel tentu mengingat pesan Kakek dengan baik."
Pak Marcel mengangguk, "Tentu saja. Bram atau Yohan tidak boleh memimpin perusahaan jika mereka tidak mau melepaskan dunia itu. Tapi faktanya, tidak semua kejahatan bisa dihentikan dengan cara yang tidak sadis."
"Saya percaya, pasti ada cara baik yang masih bisa ditempuh."
"Dengan mengandalkan aparat yang hendak rutin merazia itu?" Pak Marcel berdecak, "Mereka bahkan ikut mabuk-mabukan di sana."
"Kita memang sudah lama gagal mengandalkan mereka, Pak," imbuh Surya. "Tetapi usaha itu tidak akan bertahan lama. Saya yakin."
"Ya, penjualan mereka memang turun drastis. Tapi bagaimana dengan usaha Yohan yang bukan sekadar warung alkohol?" tanya Pak Marcel.
"Kita lihat perkembangannya," jawab Surya.
"Jika tidak sesuai yang diharapkan?" Pak Marcel memancing.
"Saya mungkin akan menggunakan cara yang paling sadis."
Pak Marcel tertawa pelan sembari mengibaskan tangan. Paling sadis versi Surya itu setara dengan mencuri dompet bagi para kriminil. Surya memang cerdik, tapi tidak cukup tega; dingin, tapi penyayang; kerap melindungi, tetapi rapuh dari dalam. Tapi sejauh ini, dia sudah melihat Surya selalu bertindak penuh perhitungan sehingga akurasi untuk berhasil selalu lebih besar.
"Surya, saya tidak pernah paham dengan jalan pikiran kamu. Mengapa kamu menggaji mereka lebih banyak dari yang seharusnya mereka dapat, tetapi kamu justru mengambil gaji lebih sedikit dari ketentuan Kakek?"
Surya menutup bibirnya rapat-rapat. Perusahaan mendiang Kakek jelas ibarat rumah yang menjadi naungan banyak orang. Orang-orang yang bernaung di bawahnya tentu bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Ada banyak anggota keluarga yang menanti bayaran jerih payah mereka. Sementara dia belum berkeluarga dan memiliki penghasilan lumayan dari perusahaan kecilnya. Itu sudah lebih dari cukup. Dan tentu saja dia memiliki alasan lain.
"Kamu juga mewajibkan kelebihan gaji itu disimpan di rekening dan baru boleh diambil ketika kamu mengundurkan diri. Untuk apa itu semua, Surya?"
"Cara saya memimpin tentu akan berbeda dengan cara Om Bram memimpin."

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Ficción GeneralSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi