4

1.5K 188 12
                                    

Usai membooking dua kamar di sebuah penginapan, Naufal mengajak adiknya pergi menuju cafe dengan fasilitas rooftop. Ia mengajaknya mengheningkan cipta. Bukan, bukan bernyanyi lagu yang sering dilantunkan saat upacara itu. Ia ingin nyepi, menikmati sunyi yang berusaha diusik lalu lalang kendaraan di bawah sana.

"Aku sebenarnya nggak mau loh ikut Kakak ketemuan sama teman."

"Siapa yang bilang mau ketemu teman?" Naufal tetap meniti tangga sembari menyunggingkan senyum geli.

"Tadi waktu pamit ke Bu Ratna bilangnya mau ketemu teman di Bromo."

Naufal tergelak dan tampak gemas pada adiknya. Dia tak menjawab sebelum mengempaskan diri di kursi paling ujung. "Kamu ini."

Yasna baru tersadar ketika memerhatikan raut konyol kakaknya, "Jadi hari ini Kakak orang kedua yang membohongiku."

"Kakak hanya ingin menyelamatkan adik kecilnya yang tampak tak nyaman."

Perempuan itu diam sejenak, lalu melanjutkan, "Tetap tidak membenarkan tindakan Kakak barusan."

Giliran Naufal yang diam. Keduanya tak lagi berniat membangun sebuah percakapan. Terutama karena pesanan mereka sudah dihidangkan di atas meja. Sepiring nasi kebuli dan jus alpukat untuk Yasna, semangkuk mie terbang dan lemon tea untuk Si Kakak. Sesekali, Naufal melirik adiknya yang tetap tak berisi meski makan sebakul. Perempuan itu selalu punya sisi tersendiri di matanya. Rasa syukurnya bertambah begitu menyadari bahwa matanya ialah lensa abadi yang merekam gerak perempuan di hadapannya sejak masih belia.

"Ada sesuatu di wajahku?"

Naufal gelagapan. Untung saja tidak tersedak. Namun, bukan Naufal jika tidak pandai menyembunyikan ekspresi. "No. I just... Aku hanya memikirkan kamu dan Akylo."

"So, what do you think about us?"

"I don't know. Sangat sulit membahasakan pemikiranku soal kalian berdua," jawabnya jujur.

"Karena status sosial Akylo yang jauh di bawah keluarga kita?"

Naufal menggeleng. Ia melemparkan pandangan ke atas langit. Malam itu, langit tampak berkilauan berkat bantuan bintang-bintang. Cahayanya memantul di mata Yasna, sehingga ia enggan menatap wajah adiknya terlalu lama. Ada sesuatu yang tak dapat Naufal jabarkan untuk memetakan pemikirannya. "Kamu pernah bilang, kamu kurang suka warna kuning tapi tak mengerti alasan dibaliknya. Kamu yakin bukan karena warnanya yang gonjreng, atau karena terlalu silau jika tertimpa cahaya. Kamu hanya kurang menyukainya. Tanpa alasan.

"Hal itu berlaku pula untuk Akylo, dalam sudut pandangku, dan mungkin juga di mata Ayah dan Abah. Selama lelaki itu menyayangimu, dia tentu akan berkeinginan kuat untuk bekerja. Jadi status sosial itu sebenarnya enggak selalu berlaku."

"Kakak benci sama Akil?"

"Dia nggak pernah punya urusan sama Kakak. So, I'm not. But..." ia menggantung kalimatnya. "Dia terkesan membiarkan kamu berjuang sendirian untuk mendapatkan restu kami. Sikapnya itu yang mungkin Kakak benci."

Yasna tak lagi menyahut. Dengan kata lain, ia enggan menyetujui kenyataan tersebut.

***

Tiba di rumah mewah Irvan setelah menempuh perjalanan membuat Yasna ingin segera merebahkan badan. Bayangan dirinya bergelung di atas ranjang single dan bedcover hangat berkelebat menggoda. Ia hanya tinggal menaiki undakan, menyapa orang tuanya, lalu naik ke lantai atas. Namun, harapannya pupus ketika melihat Akylo duduk manis di ruang tamu mereka. Bersama kedua orangtuanya.

"Lho, dia kok ada di sini?"

Naufal yang setia mengekor di belakangnya tampak menyuarakan kejut. Dia melirik ke halaman, motor butut lelaki itu diparkir sembarang di dekat pohon mangga yang remang-remang. Pantas jika tak terlihat.

"Pa, Bun," sapa Yasna sembari mencium tangan Siti dan Irvan bergantian. Naufal mengikuti tingkahnya, lantas mendudukkan diri di dekat Akylo. "Aku pamit ke kamar dulu."

Siapapun di ruangan itu tahu, Yasna tidak semata-mata ingin ke kamar. Ada seseorang yang dihindarinya di sana. Akylo, dan lelaki itu pun sadar betul terhadap kesalahannya. Sementara dalam hati, Naufal bersorak girang atas respon Yasna terhadap lelaki itu. Siti dan Irvan, kendati Akylo tampak memiliki minus di mata mereka, tetap tak bisa membiarkan anak perempuan mereka bersikap demikian. Siti yang pertama kali memanggil nama anaknya.

"Tolong segera kembali begitu urusan Adek selesai," pintanya. "Kami hendak membicarakan pernikahan kalian."

Jantung Naufal seakan berhenti berdetak seiring gerak adik perempuannya yang terjeda. Benarkah? Tapi pertanyaan itu tak kunjung terlontar dari bibir keduanya. Yasna mampu mengendalikan dirinya sendiri sebelum mengangguk dan bergegas ke kamar.

Naufal meneliti sosok di sampingnya dengan penuh tanya. Pikirannya berkecamuk.

"Opal udah makan, Nak?" pertanyaan Siti membuatnya mengerjap pelan.

"Udah, Bu, tadi di jalan sempat mampir ke angkringan."

"Kalian ngga nyasar, kan?" giliran Irvan bersuara sembari menggodanya yang menang sering buta arah.

Naufal nyengir lebar menyaksikan kehadiran Yasna dari arah tanggal. Lalu menjawab, "Engga. Kebetulan sama Adek, dia yang paling cerewet tanya-tanya arah ke orang meski udah pakai maps."

"Mana ada Adek cerewet," kilahnya setelah dekat. Ia duduk di samping kanan Irvan, berhadapan langsung dengan Akylo. "Ngapain kamu ke sini ngga kasih kabar dulu?"

"Adek..." panggilan penuh peringatan itu muncul dari bibir Siti. Tapi Akylo sepertinya tertarik untuk membahas persoalan tersebut.

"Aku baru pulang kerja langsung kemari karena disuruh Pak Irvan. Mana sempat aku buka ponsel."

"Sepertinya kalian memerlukan waktu untuk berbicara," putus Irvan. "Papa sama Bunda mau cek kolam belakang dulu. Ayo, Pal, ikut liat lokasi baru buat hidroponik."

Sebelum benar-benar beranjak, Naufal melirik ke arah adiknya cukup lama. Berusaha menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Tetapi yang dominan ingin disampaikannya hanyalah; kumohon, jangan pernah memercayai pria itu dan jangan berpaling untuk pulang kepada pria itu.

Sekali lagi, Irvan memanggilnya untuk beranjak.

TBC

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang