30

950 168 21
                                    

"Saya kenal dia, kok."

Surya menjawabnya setelah duduk di sofa dan menyalakan televisi. Yasna ikut duduk di sebelahnya, meletakkan box makanan di atas meja, lalu menyipitkan mata. Ditatap demikian, Surya justru tertawa ringan.

"Kenal aja. Tapi nggak begitu akrab," tambahnya. Yasna kian menyipitkan matanya ke arah Surya. "Astaga, Na. Saya gak bohong."

"Memangnya apa? Aku gak ngomong apa-apa."

Surya mendadak susah menelan makanannya. Sejak kapan istrinya menjadi horor begini?

"Setahuku, orang yang bilang 'gak bohong' tanpa ditanya justru sedang berusaha menyembunyikan kebohongannya."

Susah payah Surya menelan makanannya sebelum menjawab, "Habis Nana lihat saya sampai segitunya."

"Mau aja."

Surya menarik napas pelan. Yasna ini kenapa sih?

Surya ingat, bukan sekali ini saja mood istrinya naik turun. Sejak prepare keberangkatan pun dia bisa tiba-tiba cemberut. Apa mungkin dia sedang menstruasi?

"Nana masih mual?" pertanyaan itu yang justru keluar dari bibirnya. Perempuan itu menggeleng pelan.

Dalam hati, Surya menggumam, masih badmood ternyata.

"Habis makan mau jalan-jalan?" Yasna tampak tak bergeming. Surya berusaha membuat tawarannya jadi semakin menarik, "Saya janji akan main ke rumah Benji nanti malam. Kalau Nana mau ikut, kita bisa jalan-jalan sebentar ke tempat-tempat yang biasa saya kunjungi ketika kuliah dulu."

"Mas mau ketemu Benji atau Rose?"

"Dua-duanya," Jawab Surya lugas. Yasna seketika mengerucutkan bibir. Jika saja tangan Surya dalam keadaan bersih, dia ingin mencubit pipi istrinya yang tengah menggembung karena berisi makanan. Tapi sejauh ini dia bisa menguasai diri, "Biar nggak berspekulasi macam-macam, Nana ikut aja ya."

"Ok deh."

Maka atas dasar kesepakatan itu, mereka berangkat dua jam kemudian sebab melakukan ini-itu lebih dulu. Mereka memutuskan akan berjalan kaki. Selain karena jarak tempuh antara apartemen dan tempat-tempat yang biasa Surya kunjungi tidak begitu jauh, kendaraan umum pun bukan sesuatu yang sulit dijumpai. Mudah saja bagi mereka untuk tiba di tujuan.

Surya menggenggam tangan istrinya yang terasa agak dingin. Menyusuri jalan sambil sesekali memotret istrinya dari samping. Sungguh, Surya tak mengerti bagaimana bisa hanya dengan outfit sederhana istrinya bisa tampak secantik itu?

Apalagi ketika dia terkejut begitu melihat Surya mengajaknya ke pub, "Kok..."

"It's okay, Na," jawab Surya yakin. Lagipula pub belum ramai dikunjungi jika sore begini. Hanya ada dua pasangan di pojok paling kanan ketika mereka masuk. Surya mendekati deretan high chair dan Yasna setia mengekor di belakang. "Saya dulu kerja paruh waktu di sini. Pulang ke apartemen hanya untuk makan atau mengerjakan tugas."

"Mas tidur di sini?"

Surya menggeleng, "Mas kadang gak tidur semalaman."

"Kenapa?"

Surya diam sejenak. Matanya melirik ke arah bartender yang tidak dikenalnya. Martin, bartender yang sudah cukup lama bekerja di pub itu, belum nampak batang hidungnya. Surya akhirnya memanggil pria itu, memesan segelas soda dan segelas air putih. Meski mengernyit heran, tetapi pria itu tetap menurutinya.

"Ketakutan saya mengalahkan rasa ngantuk," Surya meneguk minumannya. "Saya takut akan terbangun dengan kondisi terikat. Lalu ada perempuan di atas saya. Orang mungkin akan bilang saya naif karena tidak menikmati, tapi faktanya memang seperti itu."

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang