"Surya?"
Panggilan itu menyadarkan Surya. Selepas melepas kepergian istrinya bersama Mario yang berangkat dari rumah, dia memutuskan untuk kembali ke mansion, melepaskan Hicko dari kandang dan menitipkan rumah berikut anjing itu kepada Pak Parman. Di sinilah dia sekarang, menatap nanar layar CCTV yang menampilkan adegan berulang-ulang sementara ponselnya sejak beberapa saat lalu menempel di telinga, tersambung dengan Akbar. Dia kehilangan fokus, sampai security mansion yang bertugas menjaga CCTV merasa kebas memundurkan waktu rekamannya.
"Surya, kamu masih di sana?"
Surya berdehem, lalu menjauhkan ponselnya sebelum berbicara pada pria berkumis tebal di sebelahnya, "Saya minta copy-nya. Segera."
"CD atau harddisk, Mas?"
"Dua-duanya," pinta Surya sebelum keluar dari kubikel itu. Dia berjalan menuju dapur dan mengeluarkan jus jambu kemasan yang tersisa separuh dari dalam lemari es, meneguknya hingga tandas begitu pantatnya mendarat. "Maaf, bisa diulangi?"
Akbar menyahut, "Really, Surya? Aku harus mengulang pertanyaan yang sama untuk yang keempat kali?"
"Maafkan saya. Saya sedang mengerjakan hal lain tadi."
"Kalian nggak bertengkar?"
"Siapa?" tanya Surya memastikan.
"Kamu dan adik saya."
"Maksudmu Naufal atau Nana?"
"Astaghfirullah, Surya," Akbar ingin menyalahkan Surya. Tetapi dilihat dari sisi lain, lelaki itu memang tidak salah. Adiknya ada dua dan dia tidak spesifik menyebut salah satunya. Hanya saja, tidak bisakah Surya memahami maksudnya? "Tentu saja Nana."
"Kami baik-baik saja," jawab Surya, namun dia mencicit ragu. "I think."
"Kalian tidak merencanakan perpisahan, kan?"
"Saya tidak, Akbar," jawab Surya. "Tapi saya belum cukup memahami Nana."
Akbar menutup bibirnya rapat-rapat. Dia tak pernah sekalipun melihat Surya bermain-main, seakan seluruh hidupnya dirancang untuk serius. Selama ini, diam-diam dia pun menelusuri jejak hidup Surya. Dia memang bertindik, pernah bekerja di pub sebagai bartender dan sempat menjadi alcoholic, tetapi tak pernah sekalipun dia mempermainkan perempuan. Segala kenakalan itu hanya merugikan dirinya sendiri, bukan anak orang. Selama menjadi Katolik, dia aktif ke gereja. Pun begitu menjadi Muslim, dia rajin menyambangi mesjid. Kekurangan mungkin terletak pada bagaimana cara dia berkomunikasi. Bukankah kekurangan itu manusiawi?
Sementara adiknya tampak jauh lebih childish dan keras kepala sejak mengenal Akylo. Dan kali ini pun, Akbar meyakini bahwa alasan kepulangan adiknya dengan suasana hati tampak kacau bukan sepenuhnya salah Surya.
"Akbar, apa Nana bilang sesuatu?"
Akbar melirik seseorang yang baru masuk ke ruang kerja itu, "Ini Abang lagi teleponan sama Surya, Pa."
"Papa ada di sana?"
Akbar mengaktifkan mode loudspeaker, lalu Irvan menyahut, "Ini Papa."
Surya menimbang sejenak, "Akbar, maaf, bisakah saya bicara berdua saja dengan Papa?"
"Sure."
"Terima kasih," jawab Surya.
Irvan memutuskan keluar dari ruangannya dan memilih balkon sebagai tempat mereka berbincang, "Gimana kondisi Nak Surya sekarang?"
"Alhamdulillah baik," jawab Surya, dia tidak biasa berbasa-basi tetapi tetap melanjutkan, "Papa sendiri?"
"Alhamdulillah Papa baik. Bunda juga," sahut Irvan. "Sedang sibuk mengerjakan apa sekarang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Fiksyen UmumSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi