37

1K 180 15
                                        

Hal pertama yang menyambut Yasna pagi itu adalah suaminya yang tengah sibuk di depan kompor. Dinilai dari aromanya, Surya sedang membuat creamy chicken soup. Seketika perut Yasna terasa keroncongan, membuatnya tanpa sadar segera menyibak selimut dan mendekati dapur. Surya tersenyum simpul melihat wajah setengah mengantuk istrinya yang berangsur-angsur berubah cerah ketika Surya mengangsurkan mangkuk kecil berisi dua sendok sup itu untuk Yasna cicipi.

"Enak banget," respon Yasna, setengah merengek minta tambahan porsi. Surya mengacak-acak lembut surai perempuan itu, setengah gemas. Kemudian mengangkat pancinya ke depan perempuan itu.

"Hati-hati, Na. Masih panas," peringat Surya seakan tahu jika istrinya sudah tak sabar ingin segera mencicipi. Suara denting microwave membuat Yasna mengalihkan pandangan ke sana. Rupanya Surya juga memanggang roti tawar. Lelaki itu menyajikannya di samping panci sup dan kembali berujar sambil tersenyum, "Ingat, masih panas."

"Iya, tahuuu."

Surya hanya kembali mengacak-acak rambutnya pelan sambil lalu, membuat si empunya ingin misuh-misuh—lebih cenderung kesal karena diperingatkan agar tidak langsung menikmati sarapannya. Walaupun ketika Yasna menoleh, Surya ternyata tengah melipat selimut bekas pakai mereka dan merapikan tempat tidur. Dia menarik laci di samping ranjang dan mengeluarkan kipas mini, setelah coba menyalakannya—ternyata masih berfungsi dengan baik, dia kembali mendekati Yasna; menuang sup ke mangkuk, menyalakan kipas dan mengarahkannya pada mangkuk itu agar lekas dingin.

Melihatnya, Yasna jadi malu. Terutama ketika dia menyadari, Surya sudah dalam kondisi rapi. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam panjang yang lengannya digulung hingga siku. Tentu sudah mandi dan wangi. Sementara dia sendiri belum sikat gigi (lagi). Memang tadi sebelum shalat Subuh dia bangun dan menyikat gigi, tapi setelah Subuh dia kembali tidur dan napasnya tentu berubah lagi.

"Na?"

"Ya?" Sahut Yasna refleks.

"Saya tadi bilang supnya sudah hangat," jawabnya sambil mendekatkan mangkuk dan sepiring roti ke arah Yasna. Sementara Surya sendiri belum mengambil bagiannya. "Kenapa, Na?"

"Mas belum bawa mangkuk," sahutnya sembari berdiri. Namun Surya mencegah perempuan itu bergerak selain menikmati sarapannya. Alhasil lelaki itu yang menyiapkan sendiri keperluannya. Begitu Surya sudah mendaratkan kembali pantatnya, Yasna mencicit, "Mas..."

"Hmm?"

"Terima kasih."

"Terima kasih juga," sahut Surya sambil menyunggingkan senyum. "Hari ini saya ada keperluan soal kerjaan. Nana gak apa-apa di sini sendirian atau mau pulang ke rumah Papa?"

"Mas mau kemana?"

"Ketemu seseorang."

"Perempuan?" tanya Yasna dengan mata setengah memicing. Surya menggeleng, sudah merasa cukup terbiasa dengan sifat istrinya yang satu ini. Yasna hanya menganggukkan kepalanya pelan. Sebenarnya dia sudah sedikit bisa mempercayai Surya. Sedikit.

"Saya langsung berangkat setelah sarapan. Nana mau di sini saja?" Surya kembali memastikan. Kali ini diikuti anggukan istrinya. "Tak apa kalau kita pulang ke Yogya besok?"

"Tak masalah, Mas. Aku juga kangen suasana rumah," jawabnya. Surya membalasnya dengan senyum, senang karena perempuan itu mengakui huniannya di Yogyakarta sebagai rumahnya. Beberapa menit kemudian, Surya sudah selesai dengan sarapannya. Lelaki itu sempat berniat mencuci piring, namun Yasna segera mengambilalihnya. Selain khawatir kemeja lelaki itu bakal basah, Yasna juga merasa begitu kurang kerjaan.

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang