19

1.1K 187 30
                                    

"Saya harus ke New York besok."

Ungkapan itu adalah yang pertama kali keluar dari bibir Surya setelah hening memerangkap mereka. Yasna memilih duduk di kursi dan mengangkat kakinya dari lantai. Surya yang memerhatikan sikap Yasna lantas mengajaknya masuk. Tapi pada dasarnya perempuan itu keras kepala, dia menolak.

"Mas mau bertemu Rose?" Tanya Yasna. Berusaha membuat pertanyaannya didominasi rasa penasaran.

Surya mengangguk, "Ya, selepas urusan bisnis di sana selesai."

"Kenapa Mas harus ketemu Rose?"

Surya membiarkan pertanyaan itu tidak menemukan jawaban dalam waktu dekat. Dia mengamati raut istrinya, "Kenapa Nana terlihat tidak senang?"

Yasna merapatkan bibir. Lalu sejurus kemudian jawabannya menyimpang dari pertanyaan Surya, "Berapa lama Mas di sana?"

"Seminggu, mungkin."

"Kalau begitu, selama Mas di sana, boleh aku ke rumah Papa?"

Surya kembali membiarkan hening menguasai mereka, perempuan itu lebih banyak menunduk sejak pembicaraan tentang Rose.

"Nana melewatkan pertanyaan saya tadi," jawab Surya. Perempuan itu kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Surya menghembuskan napas pelan, "Saya salah bilang..."

Agaknya lelaki itu berusaha memancing perhatian Yasna. Dibiarkannya kalimat itu menggantung cukup lama hingga akhirnya bibir Yasna tak tahan menampungnya, "Tentang apa?"

Surya tersenyum tipis, "Bukan saya yang ke New York. Tapi kita."

"M-maksud Mas?"

"Selama menikah, saya belum pernah mengajak Nana jalan-jalan."

Perempuan itu tertegun. Surya benar-benar penuh kejutan. Terutama ketika lelaki itu duduk di sebelahnya, menguarkan aroma pinus yang menenangkan. Dia menatap Yasna dalam, "Jadi kenapa Nana terlihat tidak menyukai Rose?"

"M-Mas masih terlihat mencintainya..."

Surya menggeleng, "Sekarang kami keluarga, dia menikah dengan sepupu saya."

Keterkejutan menghinggapi wajah Yasna. Terlebih ketika lelaki itu melanjutkan kalimatnya, "Saya sudah terikat dengan Nana. Seharusnya tidak ada yang perlu Nana khawatirkan."

Surya melirik jemarinya, dimana cincin pernikahan mereka tersemat. Lelaki itu masih mengenakannya dan tampak benar-benar memahami bahwa cincin itu bukan sekadar benda yang melingkari jarinya, melainkan simbol bahwa hati dan jiwanya sudah berlabuh kepada seseorang. Tanpa sadar, tangan Yasna terulur menyentuh lengan Surya dan hendak mengucapkan terima kasih. Namun lagi, tubuh Surya menegang dan refleks mencengkram tangan Yasna.

Kulit Surya yang sudah dikeringkan udara malam tampak mulai kembali licin. Titik-titik keringat mulai bermunculan.

"M-Mas..." untuk ke sekian kalinya Yasna tergagap. Suara Yasna membuat Surya berusaha mengatur napas dan menenangkan jantungnya yang jumpalitan. Entah karena bayangan rekaman itu berkelebat entah karena cengkraman Surya menghadirkan rasa sakit, air mata Yasna terbit. Dia menangis. Perlahan Surya mengendurkan remasannya pada pergelangan tangan Yasna, menyisakan jejak kemerahan.

"Nana... Maa---"

Yasna kembali mengulang kejadian dulu; menubruk tubuh lelaki itu dan menangis di sana. Memutus segala argumen lelaki itu. Tubuh Surya kembali tegang dan berkeringat. Dia meyakinkan diri jika perempuan yang ada dalam dekapannya ini adalah istrinya. Perlahan tangannya terulur, menepuk-nepuk dan mengelus punggung Yasna pelan.

"Tangannya sakit?"

Yasna menggeleng, "Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Mas sakit?"

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang