27

1.1K 198 39
                                    

Yasna memasukkan satu kemasan gula pasir ke dalam troli, tetapi begitu melihat kemasan gula pasir di dus warna kuning, dia melirik kembali kemasan gula yang telah dipilihnya. Menimbang-nimbang sebentar sebelum memasukkan gula yang baru dilihatnya dan mengembalikan kemasan gula dari dalam troli. Dia melirik lagi list belanjaan untuk satu bulan ke depan, benda-benda pokok---versi Bibi Nia, sudah berhasil masuk troli. Tetapi untuk sayur-mayur berikut ikan-daging sepenuhnya diserahkan kepadanya. 

Perempuan itu mendorong troli ke deretan buah, memasukkan beraneka macam buah karena sebenarnya dia lebih suka sarapan dengan buah-buahan. Begitu dirasa cukup, dia beralih ke deretan sayur. Namun, troli yang digunakannya sudah tidak bisa menampung muatan lagi. Jadilah dia meninggalkannya sejenak untuk mengambil troli baru.

"Biar kubantu," ucap seorang lelaki berkemeja navy. 

Yasna tidak bisa berkata apa-apa begitu menyadari sosoknya, tetapi sedetik kemudian dia berseru, "Kapan ke Yogya?!"

"Belum lama," jawabnya sembari terkekeh. Dia menatap perempuan di depannya dengan penuh kerinduan. Kalau diperkenankan, dia ingin mendekapnya sejenak saja. "Where is your husband, huh? Dia membiarkan isterinya belanja sendirian."

Alih-alih marah, justru yang mampir ke pendengaran Yasna adalah kalimat ejekan. "Ada meeting mendadak. Nanti Mas Surya yang jemput."

Mereka berjalan menyusuri rak sayur, troli kosong itu mulai terisi dan Yasna yang mendorongnya. Sementara troli yang penuh diserahkan kepada lelaki itu. Sepanjang langkah itu, mereka membicarakan banyak hal. Sampai kemudian lelaki itu mengatakan hal yang tidak ingin didengarnya; tentang Surya yang meninggalkan Atma Corp. dan mustahil mampu hidup dari Foodie, juga tentang Surya yang pernah memiliki anak sebelum menikah.

"Surya pernah punya anak, tetapi janin itu keguguran. Entah digugurkan ibunya. Itulah sebabnya dia selalu menyukai anak perempuan. Dia ingin mengganti kehilangannya."

"How could... How could you say that... to me?"

"Untuk antisipasi. Karena saat ini, dia kembali menghamili perempuan lain. Anak perempuan adalah obsesinya sejak lama."

Kesadaran membuat Yasna mengumpulkan keberanian, "Stop it!"

"Aku menemuimu bukan untuk bertengkar. Tapi dengarkan baik-baik, dia pernah mengandung anak Surya, dan sekarang juga ada sedang hamil anaknya."

"Siapa?" tantangnya. Lelaki itu mendekat dan setengah berbisik menyebut nama perempuan.

"Lalu, ini hari Minggu. Apa benar Surya sedang meeting? Atau..."

Yasna mengepalkan tangan, "Shut up! Just leave me alone!"

Yasna perlu berpegangan pada troli lebih kuat. Dia menyaksikan kepergian lelaki itu dengan tidak percaya, beruntung suasana sekitar itu tidak sepadat tadi siang sehingga tak ada yang memerhatikan interaksi mereka berdua.

Dia masih mematung ketika merasakan sentuhan di lengannya, "Sudah belanjanya? Saya telpon Nana berkali-kali." Perempuan itu mengangguk saja menanggapinya. "Hei, ada apa?"

Yasna menggeleng pelan, dan suaranya dibuat seceria mungkin, "Ayo temani aku belanja."

Surya memerhatikan raut istrinya, dan meskipun merasa istrinya tengah menyembunyikan sesuatu, ia tetap mengikuti langkahnya. Dia memasukkan cumi-cumi dan gurita ke dalam troli.

"Bukannya Mas alergi?"

"Tak apa. Saya tiba-tiba pingin itu."

Yasna merasa heran, terlebih ketika Surya memasukkan beberapa jenis bahan masakan lain ke dalam troli. "Siapa yang akan menghabiskannya?"

"Saya."

"Yang memasak juga Mas, ya?"

"Oke," jawabnya singkat. Yasna tersenyum, setidaknya dia tidak akan memasak malam ini.

***


Surya merasakan suasana hati Yasna tidak dalam kondisi baik. Perempuan itu lebih banyak diam dan bahkan tidak menghabiskan makan malamnya. Berbanding terbalik dengan kondisi Surya yang sedang dalam mood baik dan memiliki nafsu makan tinggi. Agaknya mulai sekarang Surya harus mengambil jadwal olahraga rutin tiap akhir pekan.

"Ada barang yang tadi lupa dibeli?"

Surya berusaha membujuk dengan bertanya demikian. Pasalnya, perempuan itu tampak murung setelah berbelanja tadi. Sehingga dalam pikirannya, ada sesuatu yang diinginkan Yasna tapi urung atau lupa dia beli. 

"Apa benar Rose hamil?" tanya perempuan itu, kini kembali memanggil nama perempuan itu serupa dengan bagaimana Surya memanggilnya. 

Surya mengernyit ketika tak menemukan korelasi antara pertanyaannya dan pertanyaan istrinya. Akhirnya dia tetap menjawab, "Katanya, iya. Kenapa?"

"Siapa ayahnya?"

Surya melongokkan kepala hanya untuk memandangi ekspresi istrinya. Perempuan itu bertanya tanpa repot-repot menolehkan kepala, tetap dalam posisi meringkuk membelakanginya. "Tentu saja Benji."

Yasna menoleh, mengangsurkan ponselnya yang entah sejak kapan dipegang perempuan itu, "Tetapi kenapa Mas mengirimkan uang sebesar ini untuknya?"

Skakmat! Tetapi Surya berusaha tenang ketika menjawab, "Dia sedang dalam masa sulit, jadi saya meminjamkannya uang."

"Aku udah scroll chat sampai atas, Rose nggak bilang begitu."

Surya menghela napas panjang. Seketika memuji temannya yang memiliki istri lebih dari seorang, bagaimana bisa dia terlihat hidup damai sementara Surya sendiri sesekali merasa pusing menghadapi istrinya. Dia mengulurkan tangan, mengambilalih ponselnya secara halus. Dia mengetik nama Benji, lalu memperlihatkan isi chattingnya kepada Yasna.

"Itu riwayat chat minggu lalu," seloroh Yasna. 

"Benji telpon saya tadi pagi. Ketika saya akan meeting," Surya menjawab sambil memperlihatkan riwayat telpon kepada Yasna. See? Surya tidak sepenuhnya berbohong soal transfer uang itu. Tetapi melihat istrinya hanya diam, sambil menghela napas Surya bertanya, "Apa yang membuat Nana begini?"

"Apa yang membuat Mas bisa dengan mudah meminjamkan Rose uang tanpa berdiskusi dulu denganku?"

Surya mengerjap. Apa istrinya cemburu? Dia cukup lama mendalami raut wajah istrinya sebelum berkata, "Maaf. Saya salah karena tidak mendiskusikan hal ini dengan Nana. Bukan karena saya tidak percaya..."

Kalimat Surya terputus karena Yasna tiba-tiba saja memeluknya dan menangis di bahunya. Walau masih menyisakan banyak tanda tanya, Surya berusaha untuk mengerti jika dalam seminggu terakhir---apabila dia tidak salah hitung, mood perempuan itu naik-turun. Apa seharusnya dia kembali mengundang keluarga Lukas untuk kembali berkunjung seperti dua minggu lalu? Tapi jika itu terlaksana, hal yang akan mungkin terjadi adalah ia akan mencurigai semua air di dalam gelas minumnya.

"Mau cerita?"

Yasna menggeleng. Tetapi notifikasi ponsel istrinya yang beruntun membuatnya mengalihkan pandangan dan mencoba meraih ponsel itu dengan sebelah tangan setelah meminta izin dari pemiliknya. Dari nomor tidak dikenal.

Aku cuma minta tanggungjawab

Jd ga salah kalau aku mau kalian pisah. Mumpung kalian belum punya anak

Dan Surya juga bisa kembali dengan cinta pertamanya

Tiga pesan itu adalah pesan-pesan yang sudah dibaca Yasna, sementara beberapa pesan lain yang baru muncul sama sampahnya dengan pesan tersebut. Surya mengurai pelukan, "Nana... percaya?"

Yasna menggeleng, tetapi juga mengangguk. "Aku tahu Rose fasih berbahasa Indonesia."

"Dari siapa Nana tahu informasi itu?"

Yasna mengerjap, "Kak Naufal pernah mengatakannya dulu."

"Kapan?"

"Tak lama setelah kita menikah."

Surya menghembuskan napas kasar. Seharusnya sejak semula, dia tak membiarkan masalah ini berlarut-larut.

TBC

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang