29

840 156 51
                                    

Surya sesekali melirik Akbar yang tengah memasukkan potongan sushi besar ke dalam mulutnya. Kakak iparnya tampak kelaparan, serupa dengan Yasna. Seketika ia merasa bersalah karena agak terlambat datang membawa pesanan kedua orang itu. Tetapi yang lebih menganggunya adalah Akbar yang sedikit lebih pendiam, seolah ada sesuatu yang tengah dipikirkan lelaki itu. 

"Mas mau tambah sambalnya lagi?" 

Dia mengalihkan pandangan ke arah Yasna sebelum menggeleng pelan. Mereka memang duduk di meja yang sama, tetapi menyantap menu yang berbeda. Yasna dengan french fries-nya, dia dengan ayam goreng sambal matah, dan Akbar yang menyantap sushi. Dia sendiri merasa heran karena belakangan tak pernah bisa meninggalkan makan berat. Padahal biasanya, dia cukup sering melewatkan makan nasi.

Usai makan, Surya mengajak Akbar duduk di beranda depan. Dia masih punya waktu dua jam sebelum kembali meeting. Sementara Yasna tengah membuat camilan dibantu Bibi Nia. Sama halnya dengan Surya, nafsu makan perempuan itu pun tampaknya agak sedikit naik dibanding sebelumnya.

"Athia pasti suka kalau main ke sini," ucap Akbar tiba-tiba. Begitu dilirik, lelaki itu tengah memandang rumah pohon. Surya mengangguk setuju. Sayangnya, keponakannya itu belum pernah berkunjung. Dia pun tidak memiliki riwayat interaksi yang intens dengan Athia, sekalipun Yasna cukup dekat dengannya. Satu-satunya anak perempuan yang dekat dengannya hanya Raisa. Seharusnya ada yang lain, batinnya. Namun cepat-cepat dia mengalihkan ingatan itu. "Nggak tertarik punya anak, Sur?"

"Tertarik," jawabnya.

"Jadi kapan?"

"Entah." Dia mengendikkan bahu, "Lagipula tugas manusia cuma sebatas berusaha."

"Tapi usaha terus kan?" Goda Akbar sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Sementara Surya memilih tak menanggapi. Dia tidak mudah digoda, pun tidak suka membeberkan hal-hal yang bersifat privat.

"Saya sedang tidak bisa bercanda," ungkap Surya.

"Memangnya kapan kamu bisa bercanda, Sur?" balas Akbar. Dia mengubah posisi duduknya dan mengalihkan pandangan pada Surya, "Kenapa kamu tak meminta bantuan Naufal? Dia cukup lama kenal kamu, mungkin saja dia mencurigai seseorang yang tidak kamu curigai."

Surya mengembuskan napas lelah, "Laki-laki itu sulit dihubungi."

Akbar menipiskan bibir, menelan kembali kalimat yang sudah sampai di tenggorokannya. Lalu berdehem, "Ambillah cuti beberapa hari untuk berlibur. Kamu terlihat kacau."

Surya menggeleng. Dia tidak bisa meninggalkan perusahaan dan segudang masalah yang menumpuk hanya untuk mendapat kesenangan sesaat. Dia tidak akan tenang. Tetapi dia pun tak bisa memungkiri rasa rindunya terhadap New York. Ada seseorang yang ingin dia ketahui keberadaannya di sana.

"Ini buatanmu, Dek?"

Pertanyaan Akbar pada Yasna menarik kembali atensinya. Surya melirik pada isi piring yang dibawa istrinya. Klepon. Seketika perutnya yang beberapa saat lalu sudah terisi penuh mendadak memiliki banyak ruang untuk menampung makanan itu. Ditambah segelas es cendol yang baru dia sadari keberadaannya.

Akbar mencicip satu klepon dan Yasna begitu antusias bertanya, "Gimana? Enak gak?"

"Enyak," jawab Akbar dengan mulut penuh. Menyaksikan itu Surya ikut mencomot satu klepon dan menelannya bulat-bulat. Pikirannya larut dalam manisnya rasa makanan itu. Untuk sejenak dia lupa dengan masalahnya, pun pada jadwal meeting-nya.

***

Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Surya akhirnya memutuskan akan pergi ke New York. Keputusan itu dia utarakan pada Yasna dan detik itu juga dia memesan tiket pesawat. Sementara untuk urusan perusahaan, dia menitipkannya pada Lukas. Akbar sendiri bersedia membantu, kebetulan lelaki itu memiliki urusan sendiri di Yogya. Walau tidak bisa menginap di rumah karena telanjur menyewa penginapan untuk seminggu ke depan, dia mengaku bisa memantau perusahaan dan sesekali mengecek ke sana.

Dan di sinilah mereka sekarang, dalam perjalanan menuju apartemen Surya di New York. Jacob, pemilik pub tempat dia bekerja paruh waktu dulu, mengajaknya berangkat bersama. Mereka kebetulan bertemu di bandara. Selain itu, lokasi apartemen Surya dan pub memang tidak terlalu jauh. Itu sebabnya dulu dia senang pulang-pergi dengan berjalan kaki.

Gedung apartemennya sudah terlihat. Namun ketika Surya melirik Yasna yang terlelap, dia tak kuasa membangunkan perempuan itu. Istrinya tak pernah berpergian lebih jauh dari Singapura, sehingga ketika menempuh perjalanan sejauh ini membuatnya membutuhkan tambahan waktu tidur. Begitu tiba, Surya menurunkan koper mereka dari bagasi. Baru setelahnya dia menggendomg Yasna. Security yang mengenali Surya langsung tergopoh-gopoh mendekati, mengurungkan niat Jacob membantu lelaki itu membawa kopernya.

Sepanjang perjalanan dari bawah menuju lantai empat, Yasna sama sekali tak terusik. Bahkan sesampainya di kamar dan Surya membaringkan istrinya di atas ranjang, perempuan itu hanya menggeliat pelan sebelum meringkuk.

"Na, bangun. Mandi dan ganti baju dulu."

Yasna menggumam tak jelas. Surya hanya mampu menggelengkan kepalanya, lalu bangkit untuk membawa koper mereka yang ditinggalkan security di depan pintu. Saat itulah dia tampak melihat pintu unit sebelahnya baru saja tertutup, seakan seseorang telah masuk ke dalamnya. Surya menjadi penuh minat, dia melirik pintu tersebut dan hendak menelan bel.

"Mas," samar suara Yasna terdengar seakan memanggilnya. Begitu Surya mendekati posisi kopernya lagi, dia justru mendengar suara Yasna muntah-muntah. Sontak dia mengeret kopernya masuk dan menutup pintu sebelum menghampiri Yasna yang membungkuk di wastafel.

Surya memijat tengkuk istrinya pelan. Setelah tak ada lagi yang akan dia keluarkan, Surya membuatkan teh hangat.

"Mas panggilkan dokter, ya?"

Perempuan itu menggeleng pelan, "Aku cuma kecapekan, juga lapar."

Surya mendekat sembari mengangsurkan sebotol air mineral yang sempat dibelinya setelah keluar dari bandara. Kemudian ia membantu Yang duduk di sofa.

Setelahnya, baru Surya merogoh ponsel dan memesan makanan. Dia jelas belum sempat mengisi kulkas. Sembari menunggu, Surya memutuskan untuk mandi.

Sepeninggal Surya, Yasna leluasa menyaksikan apartemen tersebut. Terdapat dua kamar yang Yasna tebak salah satunya ialah kamar Naufal. Ruang tamu, serta dapur yang menyatu dengan ruang makan. Yasna merasa jatuh cinta dengan dapurnya yang didominasi warna hitam. Andai kulkas sedang dalam keadaan penuh, ia mungkin akan membuat sesuatu di sana.

Belum lama pandangannya berkeliling, bel berbunyi. Yasna bangkit dan menuju pintu depan. Makanan yang dipesan Surya ternyata sudah sampai. Namun, ketika dia berbalik dan akan kembali masuk, seseorang keluar dari unit sebelahnya. Seorang perempuan. Jilbabnya menjuntai panjang, lengkap dengan cadar. Menariknya, perempuan itu terkejut melihat keberadaan Yasna di sana. Mata kelabu perempuan itu jelas tak bisa berbohong. Tetapi pada detik berikutnya, sorotnya justru berkaca-kaca.

"Err, is something wrong with me?" Tanya Yasna ragu.

Perempuan itu menggeleng sembari tersenyum. "No! Nice to meet you."

Dahi Yasna semakin berkerut mendengar jawabannya yang tidak berkesinambungan. Tetapi Yasna tetap menjaga senyum di bibirnya dan mengulurkan tangan, "Yasna."

Perempuan itu menyambutnya. Telapak tangannya cukup dingin. "Ava Maria. Kamu bisa panggil aku Ava."

Yasna terkejut, "Kamu bisa bahasa?"

Ava mengangguk sebelum menambahkan, "Senang rasanya bertemu kamu di sini. Tapi sekarang, aku harus pergi. See you, Yasna."

"See you..."

Yasna memperhatikan perempuan itu hingga hilang dari pandangan. Dahinya kembali bertaut, senang rasanya bertemu kamu di sini? Bukankah itu terdengar aneh ketika diucapkan oleh orang asing yang justru tampak sedih ketika melihatnya?

"Sedang apa, Na? Ayo, masuk!"

Surya bertanya sembari merengkuhnya dari belakang. Tubuh lelaki itu menguarkan aroma sabun yang khas, berbanding terbalik dengan dirinya yang kini mulai terasa bau.

"Aku baru saja berkenalan dengan perempuan dari unit sebelah. Ava, namanya. Apa Mas mengena—" Yasna tak melanjutkan pertanyaannya begitu dirasa tubuh Surya menegang karena terkejut.

Yasna bergumam dalam hati, "Apa ada cerita antara mereka yang disembunyikan Surya darinya?"

TBC | 02 Februari 2022

Hampir seabad rasanya ga buka-buka lapak ini~

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang