Surya menggenggam lembut tangan Yasna dan mengajaknya pindah ke kamar agar lebih privat, sementara keluarganya yang lain tengah 'menyidang' Naufal di ruang keluarga. Dia mungkin akan kehilangan Naufal sebagai seorang sahabat mengingat lelaki itu terlihat begitu membencinya. Namun biar bagaimanapun juga, Surya meyakini jika jauh di dalam hatinya Naufal menyayangi Ava dan Naina. Perasaan lelaki itu untuk Yasna hanyalah perasaan semu.
Begitu tiba di kamar, Surya membiarkan Yasna lebih dulu masuk dan duduk di tepian ranjang sementara dia menutup pintu sebelum mendekati istrinya.
"Apa Nana masih marah?" tanya Surya hati-hati. Dia duduk di sebelahnya. Walau tak menolak ketika Surya menggenggam tangannya tadi dan mengajaknya ke kamar, Surya merasa masih ada benang kusut yang belum terurai di benak istrinya.
Tapi Yasna justru mencubit pahanya beberapa kali sampai Surya mengaduh, walau lelaki itu sama sekali tidak mencoba menghentikannya. "Aku kesel banget sama Mas, tau! Mas masih bisa bersikap sesantai ini padahal istrinya khawatir setengah mati."
"Maafin saya ya, Na," jawabnya, meski dengan senyum dikulum. Istrinya yang ceriwis sudah kembali, tanda jika perempuan itu sudah tidak marah lagi. Di sisi lain, dia juga merasa senang karena ada yang mengkhawatirkannya sebesar itu. Menyaksikan sendiri bagaimana istri berikut keluarga perempuan itu menerima dan menyayangi dirinya sedemikian besar, membuatnya bahagia. Dia merasakan sosok Maman dalam diri Siti, sosok Ayah dalam diri Irvan, serta merasakan sosok anak lewat janin dalam rahim Yasna sekarang. Apa yang hilang dari dirinya, diberikan Tuhan lewat Yasna dan keluarganya. "Apa yang harus saya lakukan biar Nana maafin saya?"
"Aku mau Mas jujur dan gak menyembunyikan apapun lagi dariku," pinta Yasna. Surya mengangguk menyanggupi. "Apa ada hal lain yang belum kuketahui?"
"Mungkin soal keluarga saya," jawab Surya setelah hening yang cukup agak lama. Dia menarik napas panjang, "Saya punya adik perempuan. Namanya Diana. Matanya berwarna kebiruan, seperti Maman. Kami sangat menantikan kehadirannya, tapi usianya tidak panjang. Dia meninggal bersama Maman dan Ayah dalam kecelakaan itu."
Yasna melihat kesedihan yang mendalam dalam diri Surya, betapa dia terlihat sangat kesepian. Meski laki-laki itu terlihat ingin menyembunyikannya. "Itu sebabnya Mas ingin punya anak perempuan? Karena Diana?"
Surya mengangguk, "Saya tidak mengharuskan Nana mengandung anak perempuan. Dulu saya terlalu emosional sehingga mengatakan 'harus'. Apapun jenis kelamin mereka rasanya tidak begitu penting," Surya menjeda kalimatnya hanya untuk meraba perut Yasna. "Asal mereka sehat, itu sudah lebih dari cukup buat saya."
"Beneran bukan karena Mas pernah punya anak—seperti yang dibicarakan Kak Opal?"
"Saat masih berpacaran dengan saya, Rose pernah hamil. Tentu itu bukan anak saya, tetapi anak Benji. Hubungannya dengan Benji tidak begitu baik saat itu, sehingga saya tetap rutin menemani Rose cek up, dokter bilang bayinya perempuan. Sayangnya Rose keguguran. Opal mungkin tahu kalau Rose kehilangan bayinya, tapi tak tahu kalau itu bukan anak saya."
"Tapi terkadang aku merasa Rose punya tempat spesial di hati Mas..."
Surya menatapnya, "Rose orang pertama yang tahu masa-masa sulit saya dan menyeret saya ke psikolog. Bagi saya dia teman yang baik. Nana tidak perlu merasa khawatir, tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan Nana di hidup saya."
"Gembel," ledeknya meski kedua pipinya bersemu.
"Fakta, Na." sahutnya. Jemarinya yang masih mendarat di perut istrinya terus mengusap-usap bagian itu dengan penuh sayang. "Gimana kata dokter soal mereka, Na?"
"Alhamdulillah mereka sehat, Mas. Usianya baru dua bulan," jawab Yasna.
"Morning sickness-nya masih ada?"
"Ada, tapi gak begitu parah."
Surya menggumamkan hamdalah, lalu menyingkap baju yang dikenakan istrinya, mengecup perutnya yang ternyata memang agak berbeda dari yang terakhir kali dia melihatnya. "Saya sayang kalian berdua."
Yasna menyahut, "Ke aku gak sayang?"
Surya bangkit untuk menatap kedalaman mata istrinya. "Sayang," jawabnya sebelum mendaratkan satu kecupan panjang dan dalam. Surya lantas membuka kemejanya yang dirasa kotor sebelum merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. "Saya kangen banget sama kalian."
***
Surya terbangun begitu mendengar suara ketukan di daun pintu. Dia melirik Yasna yang ternyata ikut terlelap di sampingnya, lalu melirik jam. Setengah tiga. Sedikit-banyak dia merasa bindeng karena tak biasa tidur siang, mungkin jetlag juga. Namun dia tetap bangkit menuju pintu dan membukanya, Akbar berdiri di sana sambil tersenyum geli. Surya yang hanya mengenakan celana kolor dan pintu yang Surya buka tidak terlalu lebar—seakan menutupi sesuatu di dalam sana, memunculkan spekulasi dalam benak Akbar.
"Siang-siang begini," komentarnya setengah meledek. Surya merasa paham kemana arah pembicaraan kakak iparnya. Dia tersadar kalau saat ini tidak mengenakan baju, pun terlihat ingin menyembunyikan suasana kamar karena membuka pintu tidak begitu lebar. Padahal dia hanya menjaga agar tidur Yasna tidak terganggu. Tidak ada yang terjadi selain tidur, namun Surya enggan menjelaskan lebih lanjut. Akbar iseng menggodanya, "Aku 'ganggu', ya?"
Surya memutar matanya jengah, "Ada apa?"
"Ada Mario. Dia udah nunggu lama di bawah," jawab Akbar. Surya agak terkejut walau mengangguk dan mengabarkan akan turun setelah memakai baju. Akbar seakan ingin terus menggodanya, "Dijaga, ya. Adek lagi hamil muda, jangan sering-sering."
Surya hanya menggumam sambil lalu, "Ndasmu!"
Akbar tertawa pelan melihat sikap Surya—yang walaupun ketus, namun tampak malu. Sementara Surya kembali masuk kamar hanya untuk mengenakan kaus dan mengganti celana kolornya dengan jeans pendek. Dia menyempatkan diri mencuci muka dan menyugar rambutnya agar tidak berantakan.
Setibanya di lantai bawah, dia melihat Akbar tengah membantu menuangkan jus mangga ke dalam beberapa gelas. Sementara Thalia sibuk menggoreng sesuatu. Walau sering menggodanya, Surya mengakui kalau Akbar sosok kakak yang baik. Bukan sekali dua kali Akbar mengulurkan bantuan. Akbar bahkan memanggilnya mendekat hanya untuk memberikan nampan berisi dua gelas jus mangga dan sepiring churros.
"Buat kamu dan Mario. Dia ada di gazebo," ucapnya. Surya menurut setelah mengucapkan terima kasih kepada dua sejoli itu.
Selama menikah dengan Yasna, dia menyaksikan betul jika laki-laki dalam keluarga istrinya ikut berperan dalam urusan rumah tangga. Baik Irvan atau Akbar, meskipun sibuk selalu menyempatkan diri mengurus pekerjaan rumah tangga dan membantu para istri. Kecuali Naufal, mungkin. Sementara Addar, dia tidak begitu mengetahuinya.
Tiba di bagian belakang rumah, Surya mendapati Mario tengah duduk di gazebo. "Sudah lama, Yo?"
"Lumayan, Mas. Saya bahkan ikut makan siang dulu tadi, sempat ngobrol banyak sama Pak Irvan dan Mas Akbar juga."
"Maaf, saya tadi tidur siang. Ada urgensi?" tanya Surya yang membuat Mario menatap ke arahnya.
"Mas ini masih tanya ada urgensi atau engga, semua orang udah kebakaran jenggot dengar kabar pesawat yang harusnya Mas tumpangi ternyata kecelakaan," mendengarnya, Surya menggaruk tengkuknya. Terutama ketika Mario bilang, "Mana ponsel Mas nggak aktif."
"Maaf ya," jawabnya kikuk. Pasalnya, Surya bahkan lupa men-charger ponselnya hingga sekarang.
"Wes gak apa-apa. Kami udah tenang sekarang. Mas Lukas udah saya kabari juga," jawab Mario. Surya hanya mengangguk dan menggumamkan terima kasih.
"Lukas gak titip pesan?"
Mario menggeleng, namun mengangguk juga akhirnya, "Tapi biar Mas Lukas yang ngobrol langsung. Saya takut salah menyampaikan, Mas."
"Ya sudah, nanti saya telpon dia."
"Mas kapan pulang ke Jogja?"
Surya tampak berpikir sejenak, "Sepertinya saya akan di sini dulu beberapa hari, Yo."
"Saya pulang ke Jogja saja atau ikut di sini juga?" tanya Mario.
"Kalau kamu gak pulang, Bibi sendirian, Yo." jawab Surya. "Menginaplah dulu di sini atau di apartemen saya, besok pagi baru berangkat."
Mario hanya mengangguk.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Lelaki Idaman
Ficción GeneralSekuel [Bukan] Wisma Impian - Yasna Malaika Yumnaa Udah, baca aja. Alurnya gak kayak BWI, hehe. Insha Allah akan update tiap hari Jum'at dan Minggu. Foto: @jan.taavi