2

2K 202 14
                                    

@Danisha_fitri yang kemarin bilang kangen sama Irvan, nih kukasih~

Happy reading!
_

__

"Ada sesuatu yang sedang Adek pikirkan?"

Pertanyaan Irvan terlontar sesaat setelah mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Tentu setelah usai mengantar kepulangan Naufal, Addar, serta Akbar dan keluarga kecilnya ke depan pintu utama. Sudah menjadi rutinitas di antara keluarga itu menghabiskan malam minggu bersama. Kebiasaan yang telah dilakoni mereka semenjak berbaikan.

"Adek... boleh ke Wonosobo?" diliriknya Irvan dan Siti dengan kedua ujung mata. "Ibu Akil sakit, Pa, Bun. Adek juga pingin besuk ke sana."

"Astaghfirullah. Sakit apa katanya?"

"Akil cuma bilang keadaannya makin kritis dan perlu dirawat inap."

Hening memerangkap mereka. Mata perempuan itu memberanikan diri melirik Irvan, papanya tampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Siti terlihat menunggu keputusannya. Entah dorongan apa yang membuat bibirnya lancang membuka suara, namun emosi begitu kentara ketika Yasna bertanya, "Sampai kapan Papa tidak menyukai Akylo?"

Irvan jelas terkejut. Namun, suaranya masih selembut biasa ketika berkata, "Papa gak pernah bilang begitu. Papa cuma belum bisa kasih restu. Itu dua hal yang berbeda, Dek."

Yasna tak dapat menutupi raut menyesalnya. Hanya karena lelaki lain, ia sampai berani menentang pria yang selalu mencintainya. Kesabaran perempuan itu seakan menguap, dan hal terburuk adalah ia bersikap seperti perawan tua yang ingin cepat menikah. Memikirkan itu membuatnya hendak meminta maaf. Tapi sepertinya Tuhan memang tidak menyukai tindakannya beberapa saat lalu, sehingga ia mendapat pukulan telak ketika Irvan melanjutkan ucapannya, "Akhir-akhir ini urusan Papa di RS membludak, jadi Papa sering lupa jadwal. Tapi setelah di ingat-ingat, besok Papa free. Insha Allah bisa nemenin Adek ke Wonosobo."

Tubuh perempuan itu menubruk tubuh Irvan. Ia memeluknya dan tanpa ragu membisikkan kata maaf. Irvan tersenyum tipis sembari tangannya mengelus kepala Yasna yang berbungkus jilbab instant. "I'm really sorry. Tak sepantasnya Adek berbicara seperti tadi."

"Papa tahu kamu terlalu lelah bekerja, Dek."

"Dan Bunda tahu rasanya menunggu orang tua memberi restu," timpal Siti. "Selama menunggu Papa kasih lampu hijau, anggap saja Adek sedang mendalami karakter Akylo. Baik dan buruknya. Tidak harus terburu-buru menikah hanya karena merasa sudah ketemu sama 'calonnya'."

"Benar apa yang dikatakan Bunda. Dan meskipun Papa belum kasih restu buat kalian, bukan berarti Papa tidak ingin terlibat urusan apapun dengannya," lanjut Irvan. "Sekarang, ayo istirahat! Besok kita ke Wonosobo pagi-pagi. Adek udah tahu alamatnya, kan?"

"Adek nggak tahu, Pa. Tadi siang Akil janji akan kasih kabar. Tapi sampai sekarang masih sulit dihubungi."

Yasna mendesah. Itu adalah percakapan di suatu peristiwa yang sudah menguap beberapa hari lalu. Mereka tak kunjung ke Wonosobo. Begitu pula dengan Akylo yang masih sulit dihubungi. Entah sudah berapa pesan dan panggilan yang dilakukan Yasna namun setiap pesannya tak kunjung centang biru. Dari semua yang paling menjengkelkan, ia tak punya nomor telepon keluarga lelaki itu.

Prang!

Yasna berjengit. Ia menatap piring kedua yang dipecahkannya hari ini. Sudah dua kali pula lantai dapur dikotori tumpahan makanan berlumur saus. Kesalahan yang membuat pegawainya diliputi khawatir. Salsa---sahabat merangkap asisten koki, tergopoh-gopoh menghampirinya, mengabaikan kentang yang sudah diceburkannya ke dalam minyak panas.

"Sori."

Cicitannya bisa didengar oleh seluruh penghuni dapur. Sambil mengangsurkan segelas air, Salsa berkata, "Lo istirahat aja di ruangan, Yas. Biar dapur gue yang pegang."

"Aku baik-baik aja."

"Lo nggak baik-baik aja, Yas. Jangan ngeyel!"

"Ok. Aku akan diam di ruanganku aja. Tolong buatkan aku kopi, tanpa gula."

Perempuan itu beranjak menuju ruangannya yang terletak di pojok kiri. Ruangan kecil yang hanya berisi rak buku resep, kursi dan meja kecil, dan beberapa barang di sudut ruangan. Matanya menangkap kotak berwarna biru muda di dekat rak. Bagaimana ia bisa melupakannya? Itu adalah paket yang dikirim Ibu Akylo untuknya. Paket yang sama sekali belum pernah dibukanya. Barangkali ia menemukan nomor telepon yang bisa membimbingnya menuju Wonosobo.

Diraihnya kotak tersebut. Ada nomor telepon di sana. Segera ia menyalinnya ke dalam ponsel. Namun, sebelum menghubungi nomor tersebut, perempuan itu memutuskan membuka kotaknya. Sebuah kebaya berwarna putih. Ia membeberkannya di udara, meneliti bentuk dan motifnya. Kebaya yang cantik. Selain itu ada rok lilit dari kain jarik di dalamnya. Berwarna sedikit keemasan, serupa dengan rona samar motif bunga di kebayanya. Ketika membawa bawahan kebaya itu, ia menemukan secarik kertas.

Kepada Yasna yang Ibu sayangi,

Ketika Ibu menjahit kebaya ini untuk keperluan sekolah Kanaya, Ibu langsung ingat kepadamu. Kanaya lalu memaksa Ibu untuk memberikannya pada perempuan yang ia panggil sebagai 'calon kakak ipar'. Betapa ia bersemangat mengantarnya menuju pos seorang diri. Agaknya ia amat menyayangimu seperti ia menyayangi Akylo.

Ibu tahu, ini tidak seberapa dan kamu pun pasti mampu membeli yang lebih bagus daripada ini. Besar keinginan Ibu dapat melihatmu mengenakan kebaya ini meski Gusti Allah tidak menggariskan kamu bersanding dengan anak Ibu.

Nak Yasna, tolong sampaikan salam hangat Ibu kepada Pak Irvan dan Bu Siti. Tanpa kebaikan dari mereka berdua, pengobatan Ibu tak akan terbantu.

Salam,
Ratna.

Bantuan pengobatan? Dahi Yasna bertaut begitu memikirkan kalimat terakhir itu. Benar memang Akylo beberapa kali meminjam uang untuk pengobatan ibunya, namun sepengetahuannya Akylo tetap menyampaikan pinjaman uang itu dari Yasna—bukan kedua orang tuanya, kepada Ibunya. Tak ingin menambah beban di kepalanya, ia memutuskan untuk abai dan menyimpan pemberian Bu Ratna ke tempatnya semula.

Sehelai kertas tergeletak di sana. Sebuah resi. Ah, kenapa tidak dari tadi ia mengingat peristiwa itu? Paket ini dibawanya langsung dari Kantor Pos, berbarengan dengan ia mengirim parcel untuk Bu Ratna dan Kanaya. Bahkan, terhitung dua kali ia mengirim paket untuk mereka.

"Kopi pahit untuk adikku yang sendirian."

Lagi. Suara familiar itu mampir seenak jidat di pendengarannya. Tak perlu berbalik untuk mengetahui siapa sosok yang masuk tanpa permisi ke ruangannya.

"Kak Naufal, tolong antar Adek ke Wonosobo sekarang juga."

"Eh?"

"Adek kepingin jenguk Bu Ratna. Please..."

"Tapi Kakak dengar, Ayah sama Ibu sedang ada keperluan di Salatiga. Kakak gak tanggungjawab kalau mereka marah."

"Adek telepon Papa dulu buat minta izin."

Naufal ingin mendebat, menggugat apa yang diinginkan perempuan itu dan memaksakan perasaan serta keinginannya. Namun sekelebat kenyataan membuatnya urung melakukan. Demi senyum di bibir tipis perempuan itu.

***

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang