17

1.1K 175 41
                                        

Surya terbangun tepat pukul tiga dini hari. Dia melirik ke bagian ranjang sebelahnya, menatap sosok istrinya yang bersembunyi di dalam bed cover. Tampak seperti kepompong. Ia hanya mampu menggelengkan kepala atas perubahan dan seluruh tingkah perempuan itu. Semalam, Surya sudah menggelar kasur lantai di sebelah ranjang. Tetapi ketika sudah rebah, Yasna justru memintanya naik ke atas ranjang. Sejurus kemudian perempuan itu menata guling dan bantal besar di tengah-tengah mereka, lalu merebahkan diri membelakanginya sambil menutup seluruh tubuh dengan bed cover.

Mengingat hal itu membuatnya berdecak pelan, apa yang mendorong perubahan perempuan itu? Tak ingin terlarut dalam berbagai spekulasi, dia beranjak mandi dan shalat Tahajjud. Beberapa menit menuju Shubuh, Surya isi dengan mengaji. Begitu adzan Shubuh sudah berkumandang dan ia sudah menunaikan shalat, Surya mendekat ke tempat perempuan itu terlelap. Bukan untuk mengingatkannya shalat, perempuan itu masih berhalangan, tetapi memeriksa keadaannya. Dia agak khawatir perempuan itu kehabisan napas karena semalaman tidur berkerudung dan di dalam selimut. Setelah berada di sisi lain ranjang, di hadapan wajah perempuan itu yang menyembul di antara selimut, Surya melihat helai-helai rambut Yasna menempel di dahinya yang berkeringat. Anehnya, perempuan itu masih tidur pulas. Bibirnya agak membuka. Surya menggelengkan kepala dan beranjak dari sana.

Suara keran air dari wastafel mengalihkan perhatiannya. Surya menuruni tangga, terlihat Siti sedang mencuci. Dia lupa dengan keberadaan mertua dan Bibi Nia, padahal mereka bisa shalat berjamaah.

Meski tengah mencuci wadah, kompor itu masih menyala. Aroma kunyit dan ikan menguar di ruangan itu.

"Bunda tidak seharusnya memasak. Biar saya yang lanjutkan."

"Tidak apa-apa. Bibi Nia bilang kamu sangat suka acar ikan gurame," jawab Siti. Mendengar itu, rasa rindu terasa amat menggumpal di dadanya. Pikirannya menerawang pada saat dia kecil. Setiap hari Minggu, Abraham selalu meminta Emily membuatkan menu tersebut. Menu yang juga sangat disukainya. Surya kecil bahkan bisa menambah nasi dua kali jika Emily memasaknya.

"Nak Surya mau nyoba icip?" Surya mengangguk dan mendekat setelah mengambil sendok bersih. Begitu mencicipinya, Siti bertanya, "Bagaimana?"

"Enak. Lebih enak dari buatan Bibi Nia."

Siti tertawa pelan, dia menyentuh lengan Surya, tetapi lelaki itu terlalu terkejut hingga menjatuhkan sendok. Suara denting stainless dan lantai begitu nyaring memecah hening di dapur itu. Bibi Nia sampai melongokkan kepala dari dalam kamar, tampak masih menggunakan mukena.

"Nak Surya, ada apa?" Siti bertanya dengan nada heran. Dia hanya bermaksud menenangkan menantunya bahwa sekarang Surya memiliki keluarga dan tidak merasa sendirian. Tetapi respon lelaki itu di luar dugaan. Siti menangkap ketakutan yang membayang jelas di matanya yang unik. Keringat mulai muncul di dahi lelaki itu, namun beberapa saat kemudian dia bisa menguasai diri. Nyawanya seakan kembali. Dipungutnya sendok itu.

"Bunda, maaf. Saya terlalu terkejut."

Siti tersenyum seakan dia tidak memiliki sedikitpun rasa curiga, "Tidak apa-apa. O ya, Adek mana?"

"Nana masih tidur," jawab Surya.

"Ah, anak itu. Bisa tolong Nak Surya bangunkan? Bunda dan Papa akan berangkat pukul enam, dan ada masalah cafe yang ingin Bunda tanyakan."

Surya mengangguk, tanpa diminta pun sebenarnya Surya ingin hengkang dari sana, "Baik, Bunda."

Surya naik kembali ke lantai atas dan mengecek kamar utama, sudah rapi. Suara gemericik air pun terdengar dari dalam kamar mandi. Surya memilih menyambar ponsel dan berdiam diri di balkon, menelepon atau menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Sementara selesai mandi, Yasna turun dan mendapati seluruh masakan Siti sudah tertata di meja makan. Bibi Nia membantu di sana. Dia jadi malu sendiri.

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang