43

409 57 10
                                    

Berbeda dengan Surya, Yasna justru menjadi yang paling terpuruk melihat kondisi kedua anaknya di NICU. Bobot keduanya yang terlalu kecil tampak kian memprihatinkan dengan segala tempelan alat bantu. Seakan ujian untuk anak-anaknya belum cukup sampai di situ, air susu Yasna pun tidak mau keluar. Entah karena stress, entah karena hal lain. Karenanya, Surya dan keluarga berusaha mencari donor ASI. Biar bagaimanapun juga, mereka harus mengetahui siapa ibu susunya dan memastikan kesehatannya. Lalu mau tidak mau, sementara ini mereka menggunakan susu formula untuk asupan anak-anaknya. Hal itu semakin membuat Yasna merasa gagal jadi ibu.

Di hari pertama dan kedua mereka dirawat di rumah sakit, Yasna sempat ikut ke ruang NICU dan melihat kedua anaknya di dalam inkubator. Namun di hari berikutnya hingga hari ini-terhitung sudah empat hari di rumah sakit, Yasna seakan menarik diri. Dia enggan melihat anak-anaknya di ruang itu lantaran ia selalu digerogoti rasa bersalah. Ia yang menyebabkan anak-anaknya lahir prematur dengan berat badan yang kecil pula. Tapi di sisi lain, dia juga merasa kesal karena anak-anaknya telah merebut perhatian semua orang darinya. Sejak melahirkan, semua orang sibuk mengurusi kebutuhan si kembar tanpa memerhatikan kondisinya.

"Adek udah makan?" Pertanyaan itu menarik atensi Yasna dari arah jendela.

"Aku nggak lapar," sahutnya.

"Kakak kupasin apel, mau ya?" tanyanya lagi.

Untuk sejenak, Yasna hanya menatap Naufal. Jika dipikir-pikir, selama beberapa hari terakhir, Naufal selalu mampir di kamar inapnya meski hanya sekedar untuk memastikan dia sudah makan atau belum. Jika Naufal mendapati dirinya belum makan, maka laki-laki itu berinisiatif menyediakan makanan untuknya. Seperti sekarang ini.

"Perempuan yang baru melahirkan itu harus banyak makan, Dek," selorohnya sambil mengangsurkan sepotong apel. "Apa mau Kakak suapi?"

Yasna menggeleng dan lantas mengambil potongan apel dari tangan Naufal. Dia tidak menginginkan Naufal, ia hanya ingin perhatian dari Surya dan orang tuanya. Akhirnya Yasna bertanya, "Mas Surya kemana?"

"Tadi sih Kakak lihat lagi kasih susu buat si kembar, makanya Kakak ke sini."

Mendengar hal itu, Yasna hanya diam. Selama ini, Surya memang kerap menghabiskan waktunya di NICU saat jam besuk. Baru di luar jam itu dia datang ke ruang inap, menceritakan tentang si kembar kepadanya dan sesekali membuka laptop atau meeting singkat dengan Lukas. Namun Surya tidak pernah memperhatikannya lagi, dia bahkan tak bertanya apa yang dirasakannya setelah operasi. Memikirkan hal itu kembali membuatnya bersedih.

Yasna segera menyudahi makan siangnya dan meminta agar Naufal meninggalkannya sendiri. Lelaki itu menatapnya cukup lama sebelum berlalu.

***

Yasna terjaga karena merasa kantung kemihnya penuh. Begitu hendak bangun, dia menangkap sosok Surya sedang tidur di sofa. Ia tidak berbaring, melainkan duduk bersandar dengan iPad di pangkuan. Barangkali karena merasa diperhatikan, Surya membuka mata yang terlihat agak kemerahan, selayaknya orang baru bangun tidur.

"Mau ke toilet, Na?"

Yasna mengiyakan. Lalu tanpa diminta, Surya menyingkirkan iPad sebelum mendekatinya, membantu Yasna bangun dan tetap mengantarnya ke kamar mandi-padahal Yasna sudah bisa berjalan seorang diri. Sambil menunggu Yasna menyelesaikan urusannya, Surya mencuci tangan dengan sabun. Lalu tepat setelah Yasna selesai dengan urusannya, Surya membantu membersihkan area genitalnya selembut yang dia bisa. Setelah selesai, ia kembali membantu Yasna ke tempat tidur, lalu membubuhkan satu kecupan panjang di kening Yasna.

"Saya mau cuci dulu pembalut Nana, ya."

Lelaki itu kembali ke toilet, dan yang terdengar oleh Yasna hanya bunyi gemericik air. Tak berselang lama, ia kembali ke ruang inap dan duduk di samping Yasna. Yasna bisa mencium semerbak aroma sabun yang berasal dari kedua tangan Surya.

"Makan siangnya belum sempat dimakan. Mau saya suapi sekarang?"

"Nanti aja. Aku gak laper."

"Atau Nana mau menu lain? Kalau iya, biar saya beli dari luar sebelum lihat si kembar lagi."

Yasna kembali menggeleng, namun tanpa bisa ditahan, air matanya justru menetes. Bukan sekali dua kali dia merasa mood-nya naik turun dan berubah-ubah seperti ini.

"Na, kenapa?" Hanya itu yang bisa ditanyakan Surya. Perasaannya campur aduk, antara kaget dan bingung. Namun meski demikian, Surya mengelus punggung istrinya pelan. "Bekas operasinya sakit lagi?"

Yasna tidak menjawab. Tangisnya pun tidak berkurang. Surya sudah tidak punya tenaga untuk menebak-nebak penyebab istrinya menangis. Jadi yang dilakukan Surya hanya membawa Yasna ke dalam pelukannya, membiarkan ia puas menangis sambil menunggu barangkali Yasna mau membagi isi kepalanya. Namun semakin ditunggu, Surya justru hanya mendapatkan isak tangis.

Akhirnya dia menyerah dan sekali lagi bertanya dengan lembut, "Nana kenapa?"

Samar-samar Surya bisa mendengar Yasna mencicit, "Aku cuma mau Mas selalu di sini."

"Saya selalu di sini, Na, nggak pergi kemana-mana," sahutnya. Memang benar, Surya menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Semua baju-bajunya, baju-baju Yasna, dan keperluan si kembar disiapkan Bibi Nia dan diantar oleh Mario. Sekalipun ada Irvan, Siti, maupun anggota keluarganya yang lain, Surya tetap memilih beristirahat di kamar inap.

"Tapi Mas selalu ninggalin aku ke NICU."

Surya mengerjapkan mata lantaran cukup terkejut. Dia menjaga nada bicaranya selembut mungkin sebelum berkata, "Saya ke NICU kalau bantuin Sus kasih susu ke si kembar, Na. Setelahnya-"

"Mas mau bilang kalau aku nggak becus jadi ibu, kan?"

Kali ini Yasna tidak menangis, melainkan meliriknya dengan nada dan tatapan penuh amarah. Surya hanya mampu mengerjapkan matanya berkali-kali. Jika ada orang lain yang sedang bersama mereka saat ini, siapapun itu, Surya bertaruh jika ia akan berada di pihak Surya. Tidak ada satupun dari kalimat dan nada bicaranya tadi yang memojokkan Yasna.

"Berarti bener kan Mas anggap aku kayak gitu? Kalau begitu, Mas urus aja si kembar sendirian."

Namun Surya mampu melihat bulir-bulir air mata hendak jatuh di mata istrinya. Dia seharusnya lebih peka saat menyadari Yasna seakan menarik diri dan terlihat tak ingin terlibat dengan keperluan anak-anaknya. Meski tak yakin, Surya menebak mungkin inilah yang orang-orang sebut sebagai baby blues. Surya hanya mampu menghirup napas panjang, lalu berdehem sebelum berkata, "Nana maunya saya temenin Nana terus, kan ya?"

Meski sempat diisi hening, namun lambat laun Yasna menganggukkan kepalanya.

"Kok nggak dijawab?" pancing Surya.

"Udah."

"Apa jawabannya?"

Yasna mendelik sejenak, meski tetap menjawab, "Iya, mau ditemenin Mas terus."

"Oke, mulai besok, saya bakal sama Nana terus."

Seulas senyum tipis tergambar di wajah Yasna. Oleh karenanya, Surya menyempatkan diri mendaratkan satu kecupan pelan pelipisnya dan membisikkan kata-kata yang sama sejak kelahiran anak-anaknya, "Terima kasih banyak ya, Na."

TBC | 26 Januari 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang