13

1.2K 175 35
                                    

Surya mengetuk pintu kamar utama sebanyak tiga kali, lantas memutuskan membukanya begitu tak mendapati jawaban. Dia berniat membawa pakaian olahraga dari walk in closet kamar tersebut. Namun pemandangan Yasna yang tengah berganti pakaian membuat Surya segera beranjak dari sana dan menutup pintunya rapat-rapat. Menuruni tangga, dia mengurungkan niat untuk jogging dan memilih membantu Bibi Nia menyiapkan sarapan. Seharusnya jika mengikuti jadwal, Sabtu ini merupakan jadwalnya mengunjungi Foodie. Tetapi Surya ingin beristirahat sambil memikirkan langkah seperti apa yang sebaiknya dia ambil; untuk perusahaan, untuk masa depannya, dan jelas untuk pernikahan mereka.

"Mas, mau Bibi masakin apa pagi ini?"

Surya menggeleng pelan setelah duduk di dekat pantry. Dia sedang tidak berselera apa-apa. Satu-satunya menu yang terlintas dalam pikirannya adalah roti bakar dan secangkir cappuccino. Hanya saja, kondisi lambungnya yang kembali kumat membuat Surya harus bermusuhan dengan kafein. Untuk sementara.

"Non, mau Bibi masakin apa? Insha Allah Bibi bisa masak semuanya," tanya Bibi Nia seraya melirik ke belakang Surya. Lelaki itu tak mendengar suara langkah kaki Yasna yang berbalut sandal teplek.

"Nasi goreng sepertinya cocok, Bi," jawab Yasna. Dia bergabung dengan Bibi Nia, "Aku bantuin masaknya, ya."

"Ndak perlu. Wis, Non Nana santai aja sama Mas Surya."

"Panggil Nana aja, Bi," koreksi Yasna untuk yang kesekian kali, namun Bibi Nia sepertinya sudah fasih meletakkan embel-embel 'Non' sebelum namanya.

"Bibi selalu lupa, udah kebiasaan," jawabnya sembari memotong bawang merah dan bawang putih. "Nasi gorengnya mau pedas?"

"Boleh, Bi. Kebetulan aku lagi kepingin menu yang pedas-pedas juga." Yasna mengambil telur ayam sekaligus beberapa cabai rawit dari dalam lemari es. Lalu tersadar sesuatu, "Mas, nasi gorengnya mau pedas biasa atau ekstra?"

Surya melirik begitu panggilannya keluar dari bibir Yasna yang dipoles lip balm. Pagi itu Yasna sudah segar dalam setelan rumahan yang dipadukan dengan jilbab instan. Lelaki itu nyaris tak pernah melihat Yasna membuka kerudung, kecuali ketika tak sengaja memergokinya tadi. Bahkan ketika dulu dia tidur di sebelahnya, perempuan itu tetap mengenakan inner. Benar-benar tak ingin menampakkan rambutnya di hadapan siapapun. Akhirnya Surya menggeleng pelan, untuk menjawab Yasna, juga tak habis pikir dengan tingkah perempuan itu selama ini.

"Itu artinya enggak pedas, enggak ekstra pedas, atau gimana?" tanya Yasna setengah jengkel. Sebenarnya bibir Surya itu berfungsi buat apa? Sebelum dia tersadar sesuatu, lelaki itu baru saja keluar dari rumah sakit dengan kondisi lambung yang masih kurang baik. Kemungkinan lelaki itu menolak kedua tawarannya sangat besar. Tidak mungkin Surya sudah menyantap makanan pedas dari rawit atau sambal disaat pencernaannya bahkan tidak mampu menerima pedas dari merica. Tetapi Yasna  terlalu gengsi menunjukkan perhatiannya sehingga lebih memilih menunggu jawaban dari lelaki itu.

"Pedasnya sesuai keinginan Nana aja," putus lelaki itu.

Yasna mengernyit, mau tak mau dia berujar, "Mas belum boleh makan pedas, bahkan dari merica sekalipun. Jika sesuai keinginanku, berarti Mas siap masuk rumah sakit lagi."

"Saya gak bilang mau makan pedas." Surya menyanggah dan membuat Yasna mengalihkan pandangan ke arahnya. Jika tidak ada Bibi Nia, mungkin pisau dapur yang tengah Yasna pegang akan mendarat di bibir lelaki itu.

"Mas Surya kok ndak ada romantis-romantisnya sama istri sendiri. Non Nana udah perhatian loh," komentar Bibi Nia mengundang hembusan napas Surya. Dia bukannya tidak senang, tetapi perhatian istrinya hari ini justru membuatnya bertanya-tanya; ada apa dengan perempuan itu?

Surya kembali menggelengkan kepala, bukan begitu maksudnya. "Saya ingin roti bakar."

"Kemarin Bibi lupa beli roti, Mas."

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang