34

1.3K 221 43
                                    

Seluruh rona dan ekspresi langsung hilang dari wajah Yasna. Keluarga Irvan berkumpul di ruang keluarga, kecuali Thalia, Athia, dan Naufal yang kini tengah berada di luar menunggu kedatangan Addar. Layar televisi masih menampilkan berita duka jatuhnya pesawat. Seakan tak sabar, Irvan mendial nomor Mario, tidak perlu ditanya berapa kali dia menelpon nomor Surya. Menantunya itu tidak dapat dihubungi, baik lewat WhatsApp maupun telepon seluler.

"Halo, Pak..."

"Yo, sudah dapat kabar?"

"Belum, Pa—"

Irvan refleks meletakkan ponselnya begitu samar mendengar suara Naufal dari beranda depan. Bukan suara anak lelaki itu yang menarik atensi mereka semua. Melainkan sahutan yang terdengar diidentifikasi telinga sebagai suara Surya.

Akbar lebih dulu bangkit, dan begitu mendekati ruang tamu suara Surya terdengar kian jelas.

"Shut up!"

"Lo gak pantes buat Nana," sahut Naufal. "Lo dapetin adik gue dalam keadaan bekas orang, dan setelah menikah pun lo masih tetap berhubungan dengan perempuan itu sampai dia hamil—"

Ucapan Naufal terputus ketika Surya tanpa tedeng aling-aling meninju pipi kanannya hingga lelaki itu tersungkur. Entah setan apa yang merasuki lelaki itu hingga menindih tubuh Naufal, mencengkram erat kerah kaus kakak iparnya dan kembali melayangkan bogem.

"Just shut up your fucking mouth!"

Bukan hanya Akbar yang terkesiap mendengar ucapan Surya, tetapi juga seluruh keluarga Irvan yang ada di sana. Surya bahkan mengucapkan serapah sebelum kembali melayangkan pukulan. Lelaki itu belum pernah marah hingga mengucapkan kata-kata kasar.

"Menurut kamu mungkin saya gak pantas buat Nana karena saya pernah diperkosa, saya bekas orang. Tapi kamu pikir, apa pantas seorang kakak menyukai adiknya sendiri hingga tega menelantarkan istrinya yang sedang hamil besar? Apa pantas seorang kakak meneror adiknya secara terus-menerus hanya karena dia menikah dengan temannya sendiri? Apa pantas seorang kakak membakar dan mengancam nyawa adik iparnya sendiri?"

Surya kembali mengangkat tangan dan mendaratkan tinjunya sekuat tenaga di rahang Naufal.

"Itu buat Ava," lirih Surya. "Saya bahkan membiarkan Nana pulang sendirian demi mengurusi kakak ipar yang suaminya terlalu pengecut—"

Naufal membalik keadaan. Dia kini menduduki tubuh Surya dan melakukan hal-hal yang dilakukan Surya kepadanya beberapa saat lalu. Dua pukulan dari Naufal cukup untuk membuat Irvan beranjak ke dapur dan membawa dua buah pisau. Irvan menjatuhkan kedua benda itu ke arah mereka.

"Kenapa kalian ndak sekalian saling bunuh?!" Pertengkaran antara dua lelaki itu seketika menguap di udara. "Kenapa diam? Kalau pisaunya ndak mau dipakai, pakai akal sehatnya. Saya tunggu di ruang keluarga."

Irvan lebih dulu beranjak. Disusul oleh yang lain. Akbar juga mengajak Addar yang baru saja tiba dan bingung ketika menyaksikan kekacauan anak dan menantunya. Baru saat itu mata Yasna bersirobok dengan Surya yang masih mengatur napas. Kemeja berwarna biru muda itu dihiasi bercak-bercak darah, terutama di bagian dada hingga perut. Yasna meyakini noda itu tidak dihasilkan oleh perkelahian barusan. Sebab darah tersebut terlihat sudah mengering.

Sudut bibir Surya mengeluarkan darah segar. Tetapi kondisinya tidak seburuk Naufal yang babak belur.

"Nana..." gumam lelaki itu. Tetapi perempuan itu berlalu mengikuti keluarganya. Enggan berlama-lama bersitatap dengan suaminya sendiri. Atau mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan suami.

***

Mereka berkumpul di ruang keluarga. Siti menyiapkan sebaskom es batu dan dua handuk kecil untuk digunakan Surya dan Naufal. Sesekali Surya memerhatikan istrinya yang kini tampak memiliki mata panda. Apa perempuan itu kesulitan tidur?

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang