28

1.3K 181 19
                                        

Surya terbangun begitu mendengar notifikasi ponselnya. Tidak biasanya dia lupa mematikan mode pesawat. Tujuannya meraih benda pipih itupun hanya untuk mengaktifkan fitur tersebut. Tetapi satu pesan yang muncul di sana adalah nomor baru. Bukan itu yang mencuri perhatiannya, melainkan tiga susun huruf. WRV, persis seperti sandi yang ditulis pada dinding dapur dahulu.

Isi pesan itu membuat kantuknya hilang, padahal ia belum lama terlelap. Diam-diam, dia mengambil ponsel Yasna dari atas nakas sebelah hanya untuk mencocokkan nomor dengan orang yang meminta pertanggungjawabannya. Jelas beda. Nomor yang digunakan untuk meneror istrinya ialah nomor dengan kode negara serupa dengan Rose dan Benjamin. Sementara orang yang mengirimkan sandi itu menggunakan nomor negara lain.

Meski demikian, Surya yakin betul bahwa orang yang mengirimkan sandi tersebut ialah orang terdekatnya. Keluarga Bram. Lekat dalam ingatannya tentang sandi-sandi yang diajarkan mendiang Kakek Wira kepada keturunannya. Kakek Wira senang dengan kegiatan Pramuka dan serial buku misteri---disamping buku bisnis. Tidak heran jika selama tinggal di mansion, Surya pernah bermain sandi-sandi seperti ini. Termasuk memainkannya dengan Yohanes.

Atas dasar pemikiran itu juga dia memberanikan diri mengirim pesan pada Yohanes dan menanyakan keberadaannya, bukan membalas pesan ancaman dari nomor asing itu. Selang beberapa detik, ponsel Surya bergetar. Yohanes membalasnya hanya dengan satu kata. Amerika.

Surya lantas mencocokkan nomor telepon si peneror dengan lokasi Yohanes saat ini. Cocok. Surya hendak mengirimkan screenshot sandi itu dan mendesak Yohan agar mengaku, tetapi urung dilakukannya. Dia justru menghubungi Akbar, meminta lelaki itu untuk melacak nomor ponsel si peneror. Selang beberapa menit, lelaki itu memberitahu jika si peneror justru berada di Indonesia. Di era sekarang, nomor ponsel luar bisa dengan mudah digunakan secara sembarang.

Tanpa sadar, Surya memijat pelipisnya. Mendadak merasa pening dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Terlebih ketika pada keesokan pagi dia tiba di kantor, dia mendapati seseorang sudah duduk menunggunya di lobi perusahaan. Seseorang yang seharusnya sudah tidak memiliki urusan apapun dengannya.

"Kamu terlihat keberatan dikunjungi oleh paman sendiri."

Bram bersikap angkuh walau posisinya tengah duduk di sofa ruang tunggu. Surya malas meladeni. Tetapi lelaki itu mengikuti Surya memasuki lift. Surya menajamkan instingnya sebab kubikel besi itu sangat tidak menguntungkan dirinya apabila Bram tiba-tiba menyerang. Dengan sudut matanya, Surya bisa melihat Bram mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. Dia membuat benda itu lebih panjang, kemudian memutarnya dengan lihai.

"Aku ingin tahu bagaimana reaksimu jika pisau ini menancap di leher atau kepalamu."

Surya tetap tidak mengubah posisinya, kecuali diam-diam jemarinya mengetik sesuatu di ponsel dan mengirimkannya kepada Lukas. Lalu setelahnya, dia mengaktifkan fitur rekaman.

"Atau akan lebih baik jika pisau ini digunakan untuk menggores kulit istrimu."

"Don't you dare to touch my wife!"

"Ha ha," dia tertawa sedikit dipaksakan. "Kalau kamu tidak ingin istrimu kena imbasnya, serahkan perusahaan ini kepadaku."

Surya memutuskan untuk mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dia tidak ingin mendebatkan omong kosong semacam itu dengan Bram. Sampai kapanpun dia tidak akan membiarkan Bram menyakiti istrinya, atau pun mengusik perusahaannya. Tetapi tanpa Surya sadari, Bram bergerak mengacungkan pisau; mengambil ancang-ancang untuk menusuk Surya. Hanya butuh waktu beberapa detik agar pisau itu menancap sempurna di tubuh Surya. Namun sebelum itu terjadi, lift lebih dulu berdenting dan Surya keluar dari sana. Di sambut Lukas yang nyaris kehilangan ekspresi. Beberapa detik kemudian, lelaki itu sudah bisa menguasai diri.

[Bukan] Lelaki IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang