F O U R T Y

908 60 0
                                    

HAPPY READING!!

"Bangun Zel, gue kangen lo" ujar Gerald menggenggam erat tangan adiknya yang terlanjur dingin karena ac di ruangan yang menyala sejak sore tadi.

Menatap lekat wajah yang kian manirus, bibir pucat terlihat jelas di penglihatannya. Gerald menyesal, ia sangat menyesal karena tak bisa menjadi saudara yang baik untuk adiknya. Gerald gagal menjadi sosok abang, ia gagal melindungi adiknya, ia gagal menepati janjinya.

"Maafin gue, maaf gue gagal jadi abang yang baik buat lo, gue minta maaf Zel" parau Gerald mengeratkan genggaman tangannya.

"Ayo bangun, gue janji setelah lo bangun lo boleh minta apa aja, lo boleh minta cemilan yang banyak, lo bisa jailin gue sesuka lo, lo bisa pukul gue sepuas lo. Tapi lo harus bangun dulu ya?"

"Buka mata lo Zel" tumpah sudah air mata yang sedari tadi ia tahan di matanya mati-matian.

Gerald memalingkan wajahnya menatap tembok putih polos dan mengusap kasar wajahnya, bahkan ia tak sadar matanya kian memerah dan mengeluarkan tetesan air dari matanya.

Gerald, cowok cuek abis sekarang tengah menangis. Ia mengusap matanya kasar dan terkekeh pelan, dirinya pun tak ingat kapan terakhir kali ia menangis.

"Papa bilang, jagoan gak boleh nangis"

"Gue gagal dong jadi jagoan papa?" gumamnya terkekeh mengusap kedua matanya yang lagi-lagi menumpahkan air matanya yang nakal. 

Zelda adalah salah satu kelemahan terbesarnya selama ini, sebelum adanya Arthur di balik punggungnya, Gerald lah yang selalu turun tangan atas semua yang Zelda lakukan, Zelda lah tanggung jawabnya ketika orang tua mereka tidak bersama mereka.

Gerald ingat bagaimana lirihnya tangisan Zelda setiap malam ketika gadis itu teringat kejadian yang membuat Zelda hampir kehilangan nyawanya.

Gerald ingat sekali semua kejadian yang di alami Zelda, Gerlad lah yang selalu berada di damping adiknya, menjadi panutannya ketika orang tua mereka tidak bersama mereka. Gerald ingat bagaimana sakitnya Zelda yang bahkan hampir meregang nyawa jika saja Gerald tidak menahan tubuh adiknya agar tidak terjun dari balkon kamarnya yang lumayan tinggi.

Jika saja saat itu orang tua mereka terutama papanya mengizinkan dirinya untuk ikut menyelidiki kasus itu, mungkin ada sedikit perasaan lega di relung hatinya. Tapi papa melarang keras karena papanya tidak ingin kasus ini menjadi besar dan menyebar kemana-mana, jika itu terjadi maka akan berdampak lebih buruk untuk Zelda kedepannya.

Gerald turuti jika itu demi adiknya maka ia akan lakukan.

"Zel, kalau gue suruh papa sama mama pulang sekarang juga apa lo bakal bangun?" tanya Gerald masih dengan posisi yang sama.

"Lo jadi makin kurus gini Zel, padahal cemilan lo masih numpuk di kamar lo"

Gerald menatap lekat alat pendetak jantung atau biasa di sebut EKG (Elektrokardiograf) yang berbunyi nyaring mengisi seisi ruangan dengan garis yang aktif naik turun di layar monitornya.

"Ini bisa gak sih di lepas aja, gue takut denger suaranya" oceh Gerald berdecak karena kupingnya yang mulai berdengung mendengar mesin itu berbunyi.

Dia hanya takut mendengar mesin itu berbunyi nyaring dengan layar monitor di hiasi garis lurus. Itu sangat menakutinya, sungguh.

"Cepet bangun Zel, bukan gue doang yang hampir gila bahkan Arthur udah gila karena lo"

.....

TRAUMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang