Semuanya Butuh Waktu

25.1K 2.7K 225
                                    

"Nanti aku jemput seperti biasa ya, Yang. Hari ini jadwal kita konsultasi dan periksa si Adek. Aku udah buat janji temu dengan dokter Lanny," ujar Bima saat mobilnya telah berhenti di depan lobby kantor Lyora. Bukannya menjawab dan mencium tangan Bima seperti biasanya, Lyora langsung keluar tanpa sepatah kata pun.

Bima tidak dapat berbuat banyak ketika Lyora bersikap dingin kepadanya. Bagaimanapun Bima tahu bahwa Lyora butuh waktu untuk memaafkan dirinya. Seolah tak terjadi apa-apa semalam, Bima bersikeras mengantar Lyora ke kantor hanya untuk memastikan bahwa Lyora benar-benar pergi ke kantor. Bima telah mengambil langkah lebih awal untuk mencegah Lyora berbuat nekat untuk kabur darinya. Ia juga telah meminta Pak Tardi untuk mengabaikan perintah Lyora sementara waktu.

Namun siapa sangka jika Bima kecolongan. Ia tidak mendapati Lyora ketika menjemputnya. Bahkan Bima sudah berada di lobby kantor Lyora setengah jam lebih awal dari jam pulang kantor biasanya. Hal itu membuat Bima panik, bagaimana bisa Lyora mengelabui dirinya.

Bima telah menanyakan keberadaan Lyora kepada teman-teman kantornya namun hasilnya nihil. Adit bilang, Lyora telah meminta izin pulang sebelum jam makan siang karena sakit.  Bima masih menahan diri untuk tidak menanyakan keberadaan Lyora kepada Dion. Hal itu tentu membuat adik iparnya curiga.

Bima pun hampir putus asa. Semua pesan dan panggilannya tak terbalas oleh Lyora. Mirna telah mengancam agar Bima kembali ke rumah bersama Lyora atau tidak perlu kembali ke rumah sampai dirinya berhasil membawa Lyora kembali ke rumahnya. Keputusan Mirna adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Pada akhirnya Bima tidak punya pilihan selain menghubungi Dion. Keadaan semakin runyam karena Dion curiga ada yang tidak beres di antara mereka. Bukannya mendapatkan petunjuk akan keberadaan istrinya, Bima justru kembali mendapatkan ancaman dari adik iparnya.

"Kenapa, Bang?"

"Sorry, gue lagi jaga malam."

"Loh, gimana ceritanya lo gak tau Lyora dimana?"

"Hah? Lo gila ya, Bang? Kakak gue lagi hamil gede anjir! Bisa-bisanya dia kabur!"

"Kalau sampe Kakak dan keponakan gue kenapa-kenapa, gue hajar lo, Bang!"

******
Lyora telah menghabiskan satu malamnya dengan menangis. Walaupun tidak dapat menyelesaikan masalah, setidaknya menangis dapat mengurangi sedikit emosi yang menyesakkan dadanya. Menangis pun tak selalu berarti lemah, hanya saja Lyora tidak menemukan kata yang mampu mengungkapkan perasaannya saat ini.

Sejujurnya ketika melihat sikap Bima kepada Cilla dan Aldilla saat itu membuat rasa cemburu sedikit demi sedikit menggerogoti hatinya. Lyora selalu berusaha untuk menjadi kuat walaupun sebenarnya tidak bisa. Akhirnya ia memilih untuk berpura-pura hingga pada sampai batas kesabarannya. Malam kemarin adalah puncaknya, Lyora sungguh dibuat hancur dengan pengakuan Bima yang masih ada rasa untuk Aldilla. Apapun alasannya, Lyora tetap tidak dapat mentolerir itu.

"Brengsek!" ujar Dion sambil mengepalkan tangannya. Melihat kakaknya yang terus saja menangis tanpa menjelaskan apa yang terjadi membuat Dion berprasangka buruk kepada kakak iparnya.

Sesungguhnya ada rasa bersalah yang berkecamuk di hati Dion saat melihat tangis Lyora yang tak kunjung usai. Dion masih ingat saat dirinya menjadikan Lyora tumbal agar ia dapat menikahi Flora. Andai saja dulu Dion tidak gegabah dan egois, kakaknya tentu tidak akan sesakit ini. Kalau sampai Bima benar-benar berbuat di luar batas, Dion tidak akan memaafkan Bima dan dirinya sendiri. Penyesalan akan terus menghantui hidupnya. 

"Kasar banget sih, Beb!" lagi-lagi Flora memperingati suaminya.

"Lo diapain sama Bang Bima? Dipukul? Dikatain? Bang Bima selingkuh? Apa perlu gue hajar Bang Bima? Kalo lo nangis terus gimana masalahnya bisa kelar, Ra?" tanpa mengindahkan peringatan dari Flora, Dion terus saja menjejali Lyora dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Kali Kedua [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang