"Kamu bukannya lagi haid, Yang?" tanya Bima ketika Lyora bersiap mengambil mukena dan menjadi makmum di belakangnya.
"Gak tau nih, Mas. Kok belakangan ini aku merasa aneh ya? Mau haid tapi gak PMS seperti biasanya, cuma flek sedikit."
"Ke dokter aja ya, Yang?"
"Aku tuh gak sakit, Mas. Mungkin karena stres kerjaan makanya hormonku berantakan."
"Sayang...." lirih Bima setenang mungkin. Ia mulai bosan dengan alasan Lyora yang selalu menolak untuk diajak ke dokter. Bima yakin pasti ada yang tidak beres dengan hormon istrinya, "aku cuma khawatir, Yang. Gejala penyakit kan gak selalu ditunjukkan dengan rasa sakit," lanjutnya.
Lyora hanya menunduk mendengarkan Bima. Dari nada bicaranya, Lyora sudah tahu bahwa kali ini Bima benar-benar serius. Hal itu membuat Lyora tak lagi menyela ucapan suaminya.
"Kita ke dokter ya?" sekali lagi Bima meyakinkan istrinya, "sekalian konsultasi program kehamilan," lanjut Bima.
"Kamu marah ya karena aku belum hamil?" tanpa diminta, air mata Lyora jatuh membasahi pipinya.
"Bukan gitu, Yang...."
"Jujur ya, Mas, aku tuh capek setiap kali ditanya udah isi atau belum. Kamu sih enak, bisa cuek. Aku selalu kepikiran, Mas. Pasti ada yang gak beres sama aku, kamu kecewa kan karena aku belum juga hamil? Aku emang bukan istri yang baik, Mas."
Lyora semakin tak terkendali, bicaranya terus meracau dan air matanya semakin deras mengalir. Padahal Bima tidak bermaksud menyinggung perasaannya. Ingin menjelaskan sedemikian banyak pun rasanya percuma jika Lyora masih menangis. Oleh karena itu Bima membiarkan Lyora meluapkan emosinya. Dengan sabar Bima menunggu tangis Lyora reda sambil memeluknya.
"Udah puas nangisnya?" tanya Bima lirih sambil melihat Lyora yang berada di pelukannya. Yang ditanya pun justru membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya karena terlalu malu untuk menampakkan wajahnya yang sembab.
"Sayang, aku gak bermaksud menyinggung perasaan kamu. Aku minta maaf kalau perkataan aku yang tadi menyakiti kamu."
"Maafin aku juga ya, Mas. Aku terlalu sensitif..." balas Lyora lirih.
"Lyora, dengar aku ya. Kamu gak boleh punya prasangka buruk seperti itu hanya karena kamu belum hamil. Aku memang sangat ingin punya momongan tapi bukan berarti aku menuntut. Kita gak bisa mendahului kehendak Tuhan. Kamu percaya kan kalau Tuhan selalu kasih yang terbaik di waktu yang tepat?"
Perkataan Bima selalu memenangkan bagi Lyora. Saat tangisnya mulai reda, Lyora mengangguk sambil mengusap sisa air matanya. Kali ini wudhunya telah batal karena air matanya mengalir melewati bibirnya.
"Ajakan aku buat konsultasi ke dokter bukan berarti ada yang gak beres sama kamu. Itu bagian dari usaha kita, Yang. Aku juga mau konsultasi, siapa tau masalahnya ada di aku."
Bima menyudahi sesi deep talk-nya dengan Lyora mengingat waktu subuh yang sebentar lagi segera berakhir. Dengan khusyuk Bima dan Lyora menunaikan dua rakaatnya. Tak lupa keduanya memanjatkan doa agar segala pintanya dikabulkan oleh Tuhan.
Selesai dengan kewajibannya, Lyora kembali ke kamar mandi sambil membawa test pack yang dibeli Bima kemarin. Cepat-cepat ia mengunci pintu sebelum Bima menyusulnya. Tidak lama, Lyora keluar dengan wajah yang tampak muram.
Tanpa menunjukkan hasil yang tertera pada alat tes kehamilan itu, Lyora mengadu pada Bima yang menunggunya di depan pintu kamar mandi, "Mas, garisnya cuma satu."
"Gak apa-apa, Sayang."
Tiba-tiba saja Lyora memeluk Bima dan kembali meneteskan air matanya, "makasih ya, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [ SELESAI ]
Chick-Lit"Aku dan kamu masih sibuk dengan pencapaian kita masing-masing, Bim. Kalau perasaan kita masih sama, kalau kita masih mau menunggu dan kalau kamu percaya jodoh tak akan kemana, lima atau sepuluh tahun kita bahas lagi perasaan ini." -Lyora Allona Wi...