Perang Dingin

38.3K 2.4K 25
                                    

"Ibu..." Panggil Lyora lirih ketika Mirna mempersilakannya masuk. Wanita paruh baya itu sedang bersandar pada punggung ranjang, kacamata masih bertengger di hidungnya dan di tangannya terdapat beberapa lembar kertas yang sepertinya sedang ia amati.

"Acaranya udah kelar, Ly?" Mirna melepas kacamatanya, kemudian meletakkan dokumen tadi di nakas.

"Udah, Bu." Lyora menghampiri Mirna lalu tangannya terulur memijat kaki Mirna di balik selimut. "Lyora pijitin ya, Bu?" Tawarnya.

"Kalau kamu gak capek, boleh." Mirna tersenyum namun sejurus kemudian alisnya bertaut, meneliti raut wajah menantunya yang sendu. Sepertinya acara tadi terlihat menyenangkan, namun mengapa raut wajah menantunya sedih seperti ini?

"Lyora boleh tidur sama Ibu gak?"

"Kamu nggak lagi menghindari Bima kan, Ly?"

Lyora menggeleng, kemudian menunduk untuk menghindari tatapan curiga Mirna. Air matanya tiba-tiba saja mengalir tanpa diminta.

"Kok nangis? Kalian bertengkar ya?"

"Enggak, Bu. Lyora cuma kangen ibu sama bapaknya Lyora." Lyora mengelak lagi.

"Ibu udah anggap kamu sebagai anak Ibu sendiri, jangan pernah sungkan untuk cerita atau bahkan menangis di depan Ibu. Apa yang membuat hatimu sesak, lampiaskan saja, Ly. Ibu selalu siap mendengarkan kamu, yah walaupun Ibu mungkin gak bisa kasih solusi yang tepat." Dengan penuh kehangatan, Mirna memeluk Lyora yang semakin terisak. Bahunya dibuat basah karena ia membiarkan Lyora menumpu disana.

"Mas Bima nakal ya?"

Lyora mengangguk, mengingat kejadian Aldilla dan Bima kemarin sungguh membuatnya sakit hati.

"Karena Aldilla?" Bak cenayang, tebakan Mirna selalu tepat sasaran.

"Lyora tuh gak masalah kalau Mas Bima dekat dengan Cilla, tapi kenapa ya, Bu, hati Lyora sakit banget kalau liat Mas Bima dengan mantannya itu? Lyora kekanakan ya, Bu?"

"Wajar, sayang." Mirna mengulum senyum mendengar semua pengakuan Lyora, "Itu tandanya kamu sayang sama suamimu. Kamu berhak marah, tapi jangan lupa juga untuk memberi tahu Mas-mu jika dia salah. Tidak semua laki-laki itu peka. Tidak ada salahnya kamu berterus terang. Kunci dari suatu hubungan itu komunikasi, ingat itu ya, Ly."

Isak tangis Lyora mulai mereda. Nasihat Mirna membuka sudut pandangnya semakin lebar. Mirna benar, sesuatu yang menyesakkan dada tidak baik disimpan sendirian.

"Makasih ya, Bu. Lyora sayang Ibu."

"Iya, sayang."

*****
Perang dingin masih terjadi antara Bima dan Lyora. Setelah mengantar Cilla kembali ke Aldilla, suasana menjadi canggung karena tidak ada lagi celotehan maupun suara audio di dalam mobil. Lyora hanya memandangi ke luar jendela tanpa mempedulikan kehadiran Bima di sampingnya.

Satu karton Milo kaleng dan beberapa jenis coklat yang tadi dibeli Bima dibiarkan begitu saja di kursi belakang. Lyora bahkan tidak melirik ataupun memberi komentar ketika Bima mengusahakan segala cara untuk mendapatkan maafnya. Biar saja Bima merogoh kocek lebih dalam lagi, toh rasa kesalnya tidak sebanding dengan recehan yang Bima keluarkan.

"Ra, soal yang kemarin—" Bima membuang egonya dan mencoba peruntungannya kali ini. Ayolah Lyora, mau sampai kapan kamu jutekin aku?

"Aku ngantuk, bangunin aku kalau sudah sampai." Dengan cepat Lyora menyela, sedetik kemudian ia memejamkan matanya.

"Nanti malam kita ke Orchid Night, yuk! Anggap aja sebagai permintaan maafku malam itu." Ternyata Bima berusaha mengalihkan topik Aldilla di antara mereka.

Kali Kedua [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang