Rumah

35.5K 3K 20
                                    

Hari ini mood gue meluncur hebat hingga ke dasar jurang. Gue yang paling gak suka menjadi pusat perhatian kini harus menjawab segala pertanyaan orang-orang tentang Kasogi Bimantara. Tidak jarang dari mereka yang mulai bergurau dengan konten delapan belas coret.

"Kasogi Bimantara yang mantan suaminya Aldilla bukan sih?"

"Oh, yang mantan Puteri Indonesia itu? Sekarang udah jadi model go internasional tau!"

"Sering-sering aja deh dapet traktiran gini tiap tanggal tua."

"Pak Kasogi sekarang gemukan, ya? Susunya cocok tuh!"

"Ra, boleh juga tuh bujuk Pak Kasogi biar acc pengajuan kantor kita."

"Ra, siap-siap tempur sampe pagi."

"Ra, nanti malem pake gaya apa?"

Sumpah, gue benci banget. Rasanya pengen gue bawa Bima ke depan mereka, biar semua pertanyaan konyol itu Bima yang jawab.

Hari ini gue pulang bareng Adit, gak peduli misalkan tiba-tiba Bima jemput padahal gue udah bilang gak usah jemput. Rumah gue dan Adit masih satu komplek dan beda tiga blok aja.

Baru saja merebahkan diri di sofa, dering ponsel gue yang berisik memaksa gue merogoh tas selempang keluaran Stradivarius yang berada di meja depan sofa. Sial, ganggu aja sih, batin gue.

Bima is calling ...

Gue masih menimbang untuk menolak atau menjawab panggilan Bima. Kalo gue tolak, nanti Bima marah, gue takut. Kalo gue angkat, gue masih males ngomong sama dia. Akhirnya dengan pasrah menggeser tombol hijau dan tidak lama suara Bima terdengar dari seberang sana.

"Ra, kamu dimana?"
Tanya Bima tanpa basa-basi.

"Tumben gak pake Assalamualaikum."
Ledek gue.

"Ra, jawab!"
Anjir, feeling gue gak enak nih. Tumben banget Bima ketus.

"Aku di rumah, Bim." Jawab gue dengan sedikit suara bergetar. Ya Tuhan, Bima kenapa jadi galak? Apa karena gue lebih milih balik bareng Adit?

"Jangan bercanda. Ini aku di rumah dan gak ada siapa-siapa."

Tiba-tiba saja Bima mengubah mode panggilan suara menjadi panggilan video, tentu saja gue terkejut dan langsung menerima panggilan itu mengingat Bima yang sedang dalam keadaan marah sekarang.

Ternyata Bima hanya ingin memastikan gue ada di rumah yang mana, rumah dia, rumah gue atau rumah Adit. Persepsi kami tentang rumah masih berbeda. Ketika tau gue ada di rumah orang tua gue, barulah Bima menutup panggilan videonya.

Dan sesuatu yang baru gue sadari, ketika tadi Bima telpon gue masih dalam keadaan lusuh dengan kemeja kerja yang berantakan, dua kancing teratas yang terbuka dan rambut gue yang diikat asal. Gue belum pernah seberantakan ini di depan Bima.

Baru saja hendak memejamkan mata, pintu rumah yang terbuka dengan kasar membuat gue lagi-lagi gagal memejamkan mata. Shit.

Dion dengan tergopoh-gopoh membuka pintu dengan kakinya, sedangkan kedua tangannya kerepotan membawa kardus besar dengan lapisan bubble wrap di luarnya. Gue dengan sedikit rasa kasihan tergerak untuk membantunya membawa kardus besar itu, namun ditolak oleh Dion. Katanya gue disuruh tutup pintu aja.

Dion seolah terkejut akan kehadiran gue, "Ngapain lo disini?"

"Biasa aja, dong! Kayak liat Mak Lampir aja lo!" Balas gue sambil menoyor kepalanya. Sama gue kok gak ada sopan santun.

Kali Kedua [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang