Menteri Keuangan

27.2K 2.4K 28
                                    

Hujan deras mengguyur ibu kota ketika Bima baru saja memasuki komplek apartemennya. Cuaca yang sangat mendukung sebagai alasan untuk minta dibuatkan mie instan oleh Lyora. Sambil menunggu Lyora selesai mandi, Bima membuka laptopnya untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat selesai.

Melihat Lyora yang sudah duduk di sampingnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk membuat Bima sedikit terusik. Ia masih tidak mengerti mengapa Lyora sangat gemar keramas sebelum tidur, pernah suatu ketika ia tanya alasannya, jawaban Lyora adalah, "Kamu tuh gak ngerti sensasinya tidur dengan rambut setengah kering, Bim. It's another level up of blessing."

Baru saja Bima ingin meminta tolong dibuatkan mie instan, Lyora sudah lebih dulu membuka obrolan. Bima sudah hafal dengan gerak-gerik istrinya jika ada sesuatu yang mengganjal.

"Bim, kamu sibuk gak?" Tanya Lyora ragu sambil memilin ujung bajunya.

Bima hanya melirik gestur tubuh Lyora dari ujung matanya, "Sebentar lagi kelar, aku lagi kirim email. Kenapa, Ra?"

"Aku mau ngomong sesuatu, gak tau kenapa aku rasa aku harus minta pendapat kamu."

"Soal Dion?" Tebak Bima tepat sasaran.

"Gimana kamu bisa tau? Kok aku gak tau kalau kalian sedekat itu."

"Kemarin pas ngambil hasil check up ibu, aku ketemu Dion, kami ngobrol sebentar." Bima menyudahi kesibukannya dengan menutup laptopnya demi menghargai Lyora yang sepertinya sedang ingin serius.

"Dion udah kasih tau semuanya?"

"Udah." Jawab Bima singkat. Melihat Lyora dengan segala keraguannya, Bima langsung duduk berhadapan sambil menatap Lyora hangat, "Aku bilang biar aku diskusikan dulu sama kamu. Kebetulan banget kamu juga mau bahas itu sekarang."

"Aku udah bilang ke Dion, menikah kan gak harus pakai resepsi. Bukannya lebih baik uangnya ditabung untuk biaya hidupnya nanti? Dia tuh udah mau jadi bapak-bapak loh, Bim. Tapi kenapa gak mikir panjang kalau mau berbuat sesuatu? Tuh anak bisa gak ya jadi tulang punggung keluarga? Nanti kan setelah menikah dia tinggalnya di rumah Flora. Kamu tau kan, Flora cuma hidup bertiga dengan ibu dan adik perempuannya. Dion akan menjadi satu-satunya laki-laki di keluarga itu, dia harus bisa diandalkan." Lyora terus saja mengoceh tanpa jeda. Bukannya menanggapi dengan serius, Bima malah tertawa kecil melihat ekspresi Lyora yang seperti anak kecil dengan segala kekhawatirannya.

"Lyora, pelan-pelan aja ngomongnya. Aku bakal dengerin semuanya." Bima mengubah posisinya menjadi lebih nyaman. Ia mengajak Lyora untuk bersandar pada punggung ranjang. Tangannya diam-diam sudah merangkul bahu Lyora sambil sesekali membelai rambutnya yang sudah mulai kering. Rencana Lyora untuk tidur dengan rambut setengah kering sepertinya tidak jadi.

Bima menghela nafasnya sebelum mengutarakan pendapatnya. Mengetahui sifat Lyora yang sangat sensitif, membuat Bima harus pintar memilih kata yang tepat agar tidak membuat Lyora tersinggung.

"Ra, kalau menurut kamu menikah itu gak harus pakai resepsi, bukan berarti kamu harus paksa orang lain untuk setuju dengan pendapat kamu. Mungkin kamu bisa paksa Dion untuk ikuti mau kamu, tapi keluarga Flora? Apa kamu akan paksa untuk ikuti pendapat kamu? Kamu gak boleh marah kalau Dion tetap keras kepala, mungkin dia juga mempertimbangkan dan menghargai keluarga Flora. Aku kan udah pernah bilang, coba deh kamu belajar untuk selalu pakai kacamata positif untuk melihat sekitar. Resepsi tuh gak selalu dalam konteks buang-buang uang kok, gak selalu harus mewah juga, Ra. Anggap aja resepsi itu sebagai ajang silaturahmi antar kerabat, keluarga dan teman."

"Tapi, Bim, tabunganku gak seberapa kalau untuk bantu biaya resepsi Dion. Aku kepikiran buat jual rumah orang tuaku, tapi aku gak berani bilang itu ke Dion. Menurut kamu gimana, Bim?"

Kali Kedua [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang