BIMA
Lyora sudah mengganti pakaian dan sendal jepit yang lebih nyaman. Ketika memasuki mobil, dia mengomentari banyaknya karangan bunga yang berjejer di pelataran hotel. Ada satu kiriman yang mencuri perhatian gue. 'Selamat menikah (lagi) anakku'. Harus banget diperjelas?
"Bim, ngapain sih orang-orang ngirim karangan bunga gitu. Bikin sampah tau, kasian mas-mas hotel yang bersihin. Itu juga namaku salah Bim, pake y bukan i."
"Ra, itu namanya berbagi rezeki. Kalo setiap orang punya pikiran seperti kamu, tukang bunga gak laku. Mas-mas yang kamu maksud pun, gak akan ada kerjaan. Coba belajar memandang sesuatu dengan kacamata positif. Kamu dari tadi marah-marah terus. Pengen cepet-cepet sampe rumah ya?"
Lyora dan segala kerandomannya kadang membuat gue gak habis pikir dengan isi kepalanya yang tidak sesuai dengan umurnya yang hampir menuju kepala tiga. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya gak penting untuk ditanyakan membuat gue overthinking untuk memberi dia jawaban yang logis.
"Bim, enak kali ya kalo jadi jerapah. Nonton konser di tribun paling belakang pasti keliatan. Gak perlu capek jinjit sampe kaki kesemutan. Eh, tapi diusir sekuriti gak sih? Soalnya kan kalo dia berdiri di depan bakal nutupin yang di belakang terus jadi rusuh, ujung-ujungnya disuruh pindah ke belakang deh. Kamu kan tinggi, begitu juga gak, Bim?"
Gak tau, Ra. Aku kalo nonton konser pasti VIP sih.
"Bim, kamu pernah liat pak polisi ngisi bensin gak?"
Gak tau, Ra. Gak pernah kepikiran juga sih.
"Bim, ikan kalo bobo matanya merem gak?"
Gak tau, Ra. Kamu mending nonton dunia binatang sana.
"Bim, kamu tim Jungpal atau Taek?"
Gak tau, Ra. Aku gak nonton drakor.
Dan masih banyak pertanyaan yang gue gak tau jawabannya karena emang gak pernah ada di benak gue bakal ada pertanyaan random macam itu.
Gue melirik Lyora mulai bosan dengan jawaban gue yang ketus. Dia jadi berhenti kasih gue pertanyaan dan hanya memainkan jari-jarinya yang lentik sambil melihat keluar. Gue jadi merasa bersalah. Mungkin gue agak kebawa emosi karena kelelahan juga.
Dengan impulsif, gue menggenggam tangan Lyora yang dingin bagai es. Lyora terkejut dan sontak menarik tangannya dari genggaman gue. Gue tersinggung, "Maaf ya, Ra."
"Udah kamu fokus nyetir aja, aku gak akan ganggu."
"Ra, tadi tuh kebanyakan tamu ibu. Aku juga capek karena tamunya gak habis-habis. Ibu baru bilang pas tadi telpon."
Ibu gue bener-bener ajaib. Tanpa izin gue mengundang temannya untuk hadir di resepsi gue dan Lyora. Untung aja pihak katering gak ada masalah ketika tiba-tiba ada tambahan package.
Lyora masih enggan menatap gue, "Aku gak nanya."
Gue menghela napas lebih panjang. Lyora mulai memasuki zona bad mood. Salah gue juga, sih. Rasakan Bim, sekarang cari cara biar Lyora gak ngambek lagi dan nanti malam lo bisa dapet jatah.
"Ra, aku gak tau gimana rasanya jadi jerapah karena aku bukan jerapah. Aku selalu dapat kursi VIP, jadi aku gak tau rasanya nonton konser di tribun. Mobil dinas polisi itu mengisi BBM di SPBU khusus dengan kupon yang diberikan per bulan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [ SELESAI ]
Genç Kız Edebiyatı"Aku dan kamu masih sibuk dengan pencapaian kita masing-masing, Bim. Kalau perasaan kita masih sama, kalau kita masih mau menunggu dan kalau kamu percaya jodoh tak akan kemana, lima atau sepuluh tahun kita bahas lagi perasaan ini." -Lyora Allona Wi...