Lyora mengutuk dirinya yang memberikan kesan pertama tidak menarik pada ibu mertuanya. Namun Bima meyakinkan bahwa Mirna -ibunya- bukanlah tipe mertua yang cerewet dan menakutkan.
Setelah kegagalan pernikahannya dengan si seksi Aldilla, Mirna pasrah dan tidak ingin mengintervensi jalan hidup Bima. Untuk menebus kesalahannya di masa lalu, Mirna hanya bisa mendoakan agar Bima dapat bahagia dengan pilihan hidupnya, termasuk wanita pilihan Bima untuk dinikahi.
Oleh sebab itu, mendengar kabar Bima yang ingin menikah lagi, membuat Mirna bahagia sekaligus terkejut. Seingatnya, anak semata wayangnya itu tidak pernah menceritakan tentang sosok wanita yang belakangan ini menemani hari-harinya, jangankan cerita akan hal itu, menelepon Mirna hanya untuk berbasa-basi menanyakan kabar saja sangat jarang. Anak itu seperti menjaga jarak dengannya setelah menikah dengan Aldilla, bahkan ia lebih memilih untuk tinggal di apartemennya daripada di rumah besar yang sekarang Mirna tinggali.
Mirna melihat perubahan besar yang terjadi pada diri Bima ketika menikah dengan Lyora. Badannya sedikit berisi dan kantung matanya tidak lagi terlihat. Wajahnya kelihatan lebih muda karena senyuman manis yang selalu disuguhkan saat ia dan menantunya itu sedang mengobrol. Tidak jarang Bima menggoda istrinya yang pemalu itu. Sungguh pemandangan yang sangat langka bagi Mirna melihat anaknya tersenyum lepas seperti itu.
Pernikahan Bima yang sangat dadakan tersebut tentu menimbulkan banyak tanya di keluarga besarnya. Tentu saja pertanyaan negatif yang banyak ia terima. Apakah Bima menghamili anak gadis orang? Pikirnya.
Mirna sengaja tidak memberitahu Bima akan kunjungannya pagi ini, tentu saja anaknya akan menolak jika ia meminta izinnya terlebih dahulu. Ia akan diiming-imingi janji manis agar ibunya mengurungkan niatnya.
"Bima lagi sibuk, Bu. Besok Bima yang ke rumah aja."
Namun sampai berbulan-bulan berikutnya anaknya tak juga mengunjunginya. Mirna sudah hafal akan hal itu.
Mendapati Bima dan istrinya dengan penampilan yang sangat berantakan menyambutnya pagi ini, membuat Mirna merasa sedikit bersalah. Apakah kedatangannya mengganggu proses reproduksi cucunya? Kalau sampai tiga atau empat bulan berikutnya perut menantunya masih juga datar, Mirna tentu saja akan gagal mendapatkan cucu yang lucu tahun ini.
Mirna disuguhkan oleh secangkir teh hangat dan dipaksa Bima untuk sarapan bersama. Soto ayam favorit Bima menjadi menu sarapannya pagi ini. Ia kira menu sarapan anaknya akan praktis seperti misalnya roti tawar atau mie goreng. Mirna bersyukur menantunya sangat perhatian akan urusan perut anaknya.
Tidak lupa Mirna mengecek isi kulkas yang selalu kosong melompong setiap kali ia mengadakan sidak ke apartemen anaknya itu. Sebelum anaknya menikah, Mirna adalah satu-satunya orang yang memastikan isi kulkas anaknya dipenuhi bahan-bahan praktis siap saji atau dapat dimakan langsung.
Mirna cukup takjub mengetahui isi kulkas Bima yang dipenuhi sayuran hijau di bagian chiller bawah, ikan dan daging segar mengisi bagian di chiller atas, aneka frozen food tertata rapi di bagian freezer. Serta di bagian refrigerator , terdapat aneka snack sehat dan beberapa kaleng minuman coklat berwarna hijau yang tentu saja mencuri perhatiannya. Sejak kapan Bima suka susu? Batinnya.
Bima seakan tahu apa yang akan dilontarkan ibunya melihat kaleng coklat itu, "Itu punya Lyora, Bu."
"Harusnya istri kamu itu minum susu untuk program hamil, besok Ibu belikan." Titah Mirna, sedangkan Bima hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sambil menyesap kuah sotonya, Mirna memberikan sedikit komentar akan hasil masakan menantunya, "Ini sotonya udah enak, Ly. Cuma kebanyakan kunyit aja jadi kuningnya pekat banget. Asinnya udah pas, ibu suka."
Bima dapat merasakan istrinya yang gugup itu melalui telapak tangannya yang dingin di genggamannya, kemudian ia tertawa kecil untuk mencairkan suasana, "liat nih, Bu. Perut Bima jadi buncit karena makan terus, Lyora suka marah kalo masakannya gak Bima habisin."
Satu cubitan didapatkan oleh Bima setelahnya, "aduh, sakit, Ra..."
"Harusnya kamu yang bikin istrimu buncit, Bim." Mirna melirik Bima dan Lyora bergantian, "kalian sedang tidak menunda punya momongan kan?" Mirna menatap keduanya penuh curiga.
"Enggak, Bu. Ibu mending balik sekarang deh, Bima mau laksanakan perintah Ibu."
"Ya sudah, pokoknya Sabtu besok tidak ada alasan ya. Kalo Bima gak mau, telpon Ibu ya, Ly." Pesan Mirna kepada menantunya.
"Iya, Bu."
***
"Padahal sotonya mau aku buang, Bim. Malah kamu tawarin ke Ibu." Gerutu Lyora yang sedang membersihkan meja makan sisa sarapan tadi.
"Kenapa dibuang? Masih enak, kok." Tanya Bima yang kini membantu Lyora membawa piring-piring kotor ke sink dapur. Semoga usahanya kali ini membuat Lyora berbaik hati memaafkan kesalahannya kemarin.
Lyora berlalu menuju ruang tengah tanpa memperdulikan Bima yang dari tadi mengekorinya, "Aku kesel sama sotonya. Bikin aku inget kamu sama dia."
Bukan Bima namanya jika mudah menyerah, ia mengikuti Lyora yang kini tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, "Dia? Cilla maksud kamu?"
Tentu saja Bima tau siapa 'dia' yang Lyora maksud, hanya saja ia masih takut untuk menyebut nama sang mantan yang membuat kekacauan kemarin.
"Oh iya, Bim. Lanjutin yang tadi."
"Perintah Ibu?" Goda Bima.
Lyora mendengus kesal, harusnya ia marah dan membuat Bima untuk meminta maaf kepadanya. Namun rasa keingintahuannya membuat egonya terjun bebas, tentu saja hal itu membuat Bima menjadi besar kepala. Tapi Lyora tidak peduli, ia tidak lagi menjaga image-nya di depan Bima.
"Sekali lagi bercanda, aku cekik ya, Bim." Ancam Lyora dengan wajah kesal.
"Aku lanjutin tapi ada syaratnya..."
Lyora hanya bisa mengelus dada sambil beristighfar, berharap semoga setan jahil dalam diri Bima kepanasan dan pergi dari jasmaninya, "Bim, aku lagi marah loh ini. Kamu gak takut?"
Mana ada orang marah bilang-bilang, gumam Bima dalam hati. Ia gemas dan mencubit pipi Lyora yang tidak chubby itu, "panggil aku 'Mas' dulu, kaya tadi pas ada Ibu."
Lyora mengalah, "Mas Bima sayang...." Lyora membuang napasnya dengan kasar sebelum melanjutkan perkataannya, "ayo lanjutin yang tadi." Tentu saja dengan nada yang dibuat selembut mungkin.
"Mau di sofa atau di ranjang, sayang?" Balas Bima yang langsung dibalas pukulan oleh Lyora. Bima tertawa sampai perutnya sakit, kakinya hampir saja menendang gelas yang ada di meja jika Lyora tidak menyingkirkan benda kaca itu.
"Aduh, iya iya ampun, Ra." Bima mengalah ketika cubitan dari Lyora menimbulkan bekas kuku yang menancap di hampir seluruh lengannya.
"Ra, kamu tahu Abraham Lesham?" Tanya Bima yang masih mengelus lengannya yang tadi dicubiti Lyora.
Lyora kelihatan seperti berpikir, matanya menatap langit-langit sambil mengingat nama yang disebutkan Bima tadi, sepertinya familiar, "pengusaha yang sekarang jadi anggota DPR bukan sih?" Tanyanya.
"Iya, dia ayah kandungnya Cilla. Priscilla Gianina Lesham, putri kecil itu sungguh malang."
Lyora menatap Bima yang suaranya menjadi lirih menyebutkan nama anak perempuan yang ia kira adalah buah hatinya dengan sang mantan. Air muka Bima tiba-tiba saja berubah, Lyora bisa melihat cairan bening yang menggenangi matanya.
Berbagai pertanyaan kini bermunculan di benak Lyora, ia masih enggan bertanya lagi karena Bima tiba-tiba saja memeluknya dan mengusap matanya dari balik punggung Lyora sebelum air mata itu membasahi pipinya. Nafasnya yang berat menerpa leher jenjang Lyora, ia kemudian berbisik pelan, "Izinkan aku menyayangi si kecil itu, Ra."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [ SELESAI ]
ChickLit"Aku dan kamu masih sibuk dengan pencapaian kita masing-masing, Bim. Kalau perasaan kita masih sama, kalau kita masih mau menunggu dan kalau kamu percaya jodoh tak akan kemana, lima atau sepuluh tahun kita bahas lagi perasaan ini." -Lyora Allona Wi...